PEDAGANG, PENGUASA, PUJANGGA PADA MASA KLASIK (HINDU - BUDDHA)
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Indonesia
adalah bangsa yang majemuk, terkenal dengan keanekaragaman dan
keunikannya. Terdiri dari berbagai suku bangsa, yang mendiami belasan
ribu pulau yang tidak terlepas dari pengaruh budaya luar, salah satunya pengaruh budaya India. Kebudayaan India masuk ke Indonesia pada saat Indonesia masih mengalami masa pra-sejarah. Masuknya kebudayaan India ini
sekaligus menandai berakhirnya masa pra-sejarah dan mulai membawa
bangsa Indonesia ke jaman sejarah, karena sejak saat itu bangsa kita
mulai mengenal tulisan.
Pengaruh
hindu-budha ini dapat terlihat dari berbagai macam
peninggalan-peninggalan yang tersebar hampir disetiap pulau-pulau di
Indonesia yang kini menjadi kebanggaan tersendiri bagi bangsa ini yang
berasal dari berbagai kerajaan Hindu-Budha yang merupakan cikal bakal
terbentuknya bangsa ini. Dengan hadirnya kebudayaan India di Indonesia
banyak sekali aspek yang dipengaruhinya antara lain seni, agama,
tradisi, bangunan dan lain-lain.
Sebagai generasi penerus bangsa pertama kita wajib mengetahui sejarah bangsa ini. Sehingga penyusun merasa perlu untuk menyusun makalah ini agar dapat membantu dan memudahkan pembaca untuk mengetahui sejarah dan pengaruh kebudayaan India di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengaruh Budaya India
Letak wilayah Indonesia yang strategis dan merupakan
daerah penghasil rempah-rempah membuat indonesia sering di kunjungi
oleh bangsa-bangsa lain untuk melakukan perdagangan, salah satunya India. Bangsa India yang tadinya ke Indonesia hanya bermaksud untuk berdagang ternyata membawa misi untuk menyebarkan agama.
Sambil menunggu angin musim yang baik, para pedagang India tersebut melakukan interaksi dengan penduduk setempat, selain menjalin hubungan dagang, para pedagang India
membawa ajaran agama beserta kebudayaannya sehingga semakin lama ajaran
dan kebudayaan mereka berpengaruh terhadap penduduk setempat. Sejak
itulah sedikit demi sedikit pengaruh luar mulai masuk ke wilayah
Indonesia dan terus berkembang sampai sekarang ini.
1.1. Masuknya Kebudayaan Hindu ke Indonesia
Proses
masuk dan berkembangnya pengaruh Hindu di Indonesia disebut penghinduan
atau Hinduisasi. Berikut merupakan teori-terori masuknya kebudayaan Hindu ke Indonesia :
1. Teori Brahmana
Teori
ini mengatakan bahwa kebudayaan Hindu masuk ke Indonesia dibawa oleh
para kaum brahmana. Para brahmana mendapat undangan dari penguasa di
Nusantara untuk mengajarkan agama kepada raja dan memimpin
upacara-upacara keagamaan.
Tokoh
yang mengemukakan pendapat tersebut adalah J.C. Van Leur. Ia
perpendapat bahwa agama Hindu masuk ke Indonesia di bawa oleh kaum
brahmana, karena hanya kaum brahmana yang berhak mempelajari dan
mengerti isi kitab suci Weda. Pendapatnya ini juga berdasarkan
pada pengamatannya terhadap sisa-sisa peninggalan kerajaan-kerajaan yang
bercorak Hindu-Buddha di Indonesia, terutama pada prasasti-prasasti
yang menggunakan bahasa Sansekerta dan huruf Pallawa,dimana bahasa
Sansekerta dan huruf Pallawa itu hanya dimengerti oleh para brahmana.
2. Teori Ksatria
Teori
ini mengatakan bahwa kebudayaan Hindu masuk ke Indonesia dibawa oleh
para kaum Ksatria atau para prajurit. Tokoh yang mengemukakan pendapat
tersebut adalah F.D.K. Bosch. Menurut
Teori ksatria, jaman dulu di India sering terjadi perang. Kemudian para
prajurit yang kalah banyak yang pergi meninggalkan India. Banyak
diantara mereka pergi ke wilayah nusantara. Mereka inilah yang kemudian
menyebarkan agama dan kebudayaan hindu di wilayah nusantara.
3. Teori Waisya
Teori
ini mengatakan bahwa agama Hindu yang masuk ke Indonesia di bawa oleh
para pedagang India yang berdagang di Indonesia dan kemudian mengajarkan
ajaran agama Hindu kependuduk setempat. Tokoh yang mengemukakan pendapat tersebut adalah
N.J. Krom. Menurut NJ. Krom, proses terjadinya hubungan antara India
dan Indonesia karena adanya hubungan perdagangan, sehingga orang-orang
India yang datang ke Indonesia sebagian besar adalah para pedagang.
Perdagangan yang terjadi pada saat itu menggunakan jalur laut dan
teknologi perkapalan yang masih banyak tergantung pada angin musim.
Hal
ini mengakibatkan dalam proses tersebut, para pedagang India harus
menetap dalam kurun waktu tertentu sampai datangnya angin musim yang
memungkinkan mereka untuk melanjutkan perjalanan. Selama mereka menetap,
memungkinkan terjadinya perkawinan dengan perempuan-perempuan pribumi.
Mulai dari sini pengaruh kebudayaan Hindu menyebar dan menyerap dalam
kehidupan masyarakat Indonesia.
4. Teori Sudra
Teori
ini mengatakan bahwa kebudayaan Hindu masuk ke Indonesia dibawa oleh
para kaum sudra,dalam hal ini adalah kaum-kaum terbawah. Tokoh
yang mengemukakan pendapat tersebut adalah Von Van Faber. Von Van Faber
ini menyatakan bahwa penyebaran agama hindu ke Indonesia dibawa oleh
orang-orang India yang berkasta sudra. Alasannya karena mereka dianggap
sebagai orang-orang buangan dan hanya hidup sebagai budak sehingga
mereka datang ke Indonesia dengan tujuan untuk mengubah kehidupannya.
5. Teori Arus Balik
Teori
ini mengatakan bahwa agama Hindu yang masuk ke Indonesia dibawa oleh
para pelajar (orang Indonesia) yang belajar atau mendalami agama Hindu
di India kemudian setelah mereka menempuh pendidikan. Lalu mereka pulang dan mengajarkan (menyebarluaskan) ajaran Hindu kepada penduduk setempat.
Teori
ini di kemukakan oleh F.D.K Bosch. Ia mengemukakan peranan bangsa
Indonesia sendiri dalam penyebaran dan pengembangan agama
hindu. Penyebaran budaya India di Indonesia dilakukan oleh kaum
terdidik. Akibat interaksinya dengan para pedagang India, di Indonesia
terbentuk masyarakat Hindu terdidik yang di kenal dengan sangha. Mereka
giat mempelajari bahasa Sanskerta, kitab suci, sastra, dan budaya tulis.
Mereka kemudian memperdalam agama dan kebudayaan Hindu di India.
Sekembalinya ke Indonesia mereka mengembangkan agama dan kebudayaan
tersebut. Hal ini bisa diliat dari peninggalan dan budaya yang memiliki
corak keindonesiaan.
1.2 Masuknya Kebudayaan Budha ke Indonesia
Informasi
paling tua tentang keberadaan Buddhisme di Indonesia yang pada waktu
itu belum begitu meluas juga didapat dari pengelana China bernama Fa
Hsien (+/-337 – 422 M), yang sekembalinya dari Ceylon (Sri Lanka) ke
China pada tahun 414 Masehi terpaksa mendarat di negeri yang bernama
Ye-Po-Ti karena kapalnya rusak. Sekarang tidak terlalu jelas apakah
Ye-Po-Ti itu Jawa atau Sumatera. Ia menemukan
banyak orang-orang yang beragama Hindu dan sebagian masih animisme.
Namun demikian, sepertinya kondisi mulai berubah sesudah abad kelima kerena penyebaran agama Budha yang dilakukan Fa Hsien.
B. Kerajaan - Kerajaan pada Masa Hindu-Buddha
1.
KERAJAAN KUTAI
Sejarah
Kutai
Martadipura adalah kerajaan bercorak Hindu di Nusantara
yang memiliki bukti sejarah tertua.
Berdiri sekitar abad ke-4. Kerajaan ini terletak di Muara Kaman, Kalimantan
Timur, tepatnya di hulu sungai
Mahakam.
Yupa
Yupa atau prasasti dalam
upacara pengorbanan yang berasal dari abad ke-4.
Ada tujuh buah yupa di Kerajaan Kutai. Yupa adalah tugu batu yang berfungsi
sebagai tiang untuk menambat hewan yang akan dikorbankan. Dari salah satu yupa
tersebut diketahui bahwa raja yang memerintah kerajaan Kutai saat itu adalah Mulawarman.
Namanya dicatat dalam yupa karena kedermawanannya menyedekahkan 20.000 ekor
sapi kepada kaum brahmana.
Mulawarman
Mulawarman
adalah anak Aswawarman dan cucu Kundungga. Nama Mulawarman dan Aswawarman
sangat kental dengan pengaruh bahasa
Sanskerta bila dilihat dari cara penulisannya. Kundungga adalah
pembesar dari Kerajaan Campa (Kamboja) yang datang ke
Indonesia. Kundungga sendiri diduga belum menganut agama Budha.
Aswawarman
Aswawarman
adalah Anak Raja Kudungga.Ia juga diketahui sebagai pendiri dinasti Kerajaan
Kutai sehingga diberi gelar Wangsakerta, yang artinya pembentuk keluarga.
Aswawarman memiliki 3 orang putera, dan salah satunya adalah Mulawarman.
Putra Aswawarman
adalah Mulawarman. Dari yupa diketahui bahwa pada masa pemerintahan Mulawarman,
Kerajaan Kutai mengalami masa keemasan. Wilayah kekuasaannya meliputi hampir
seluruh wilayah Kalimantan Timur. Rakyat Kutai hidup sejahtera dan makmur.
Kerajaan Kutai
seakan-akan tak tampak lagi oleh dunia luar karena kurangnya komunikasi dengan
pihak asing, hingga sangat sedikit yang mendengar namanya.
Berakhir
Kerajaan Kutai
berakhir saat Raja Kutai yang bernama Maharaja Dharma Setia tewas dalam
peperangan di tangan Raja Kutai Kartanegara ke-13, Aji Pangeran
Anum Panji Mendapa. Perlu diingat bahwa Kutai ini (Kutai
Martadipura) berbeda dengan Kerajaan Kutai Kartanegara yang ibukotanya
pertama kali berada di Kutai Lama (Tanjung Kute).
Kutai Kartanegara inilah, di tahun 1365, yang disebutkan dalam sastra Jawa Negarakertagama.
Kutai Kartanegara selanjutnya menjadi kerajaan Islam yang disebut Kesultanan Kutai Kartanegara.
2. KERAJAAN TARUMANEGARA
Sumber Sejarah
Raja yang pernah berkuasa dan sangat
terkenal adalah Purnawarman. Pada tahun 417 ia memerintahkan
penggalian Sungai Gomati dan Candrabaga (Kali Bekasi) sepanjang 6112
tombak (sekitar 11 km). Selesai penggalian, sang prabu mengadakan selamatan
dengan menyedekahkan 1.000 ekor sapi kepada kaum brahmana.
Bukti keberadaan Kerajaan Taruma diketahui
dengan tujuh buah prasasti batu yang ditemukan. Lima di Bogor, satu di Jakarta
dan satu di Lebak
Banten. Dari prasasti-prasasti ini diketahui bahwa kerajaan dipimpin oleh
Rajadirajaguru Jayasingawarman pada tahun 358 M dan beliau
memerintah sampai tahun 382 M. Makam Rajadirajaguru Jayasingawarman ada di
sekitar sungai Gomati (wilayah Bekasi). Kerajaan Tarumanegara ialah kelanjutan
dari Kerajaan Salakanagara.
- Prasasti Kebon Kopi, dibuat sekitar 400 M (H
Kern 1917), ditemukan di perkebunan kopi milik Jonathan Rig, Ciampea,
Bogor.
- Prasasti Tugu,
ditemukan di Kampung Batutumbu, Desa Tugu, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten
Bekasi, sekarang disimpan di museum di Jakarta. Prasasti tersebut isinya
menerangkan penggalian Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru dan penggalian
Sungai Gomati sepanjang 6112 tombak atau 12km oleh Purnawarman pada tahun ke-22
masa pemerintahannya.Penggalian sungai tersebut merupakan gagasan untuk menghindari
bencana alam berupa banjir yang sering terjadi pada masa pemerintahan
Purnawarman, dan kekeringan yang terjadi pada musim kemarau.
- Prasasti Cidanghiyang atau Prasasti
Munjul, ditemukan di aliran Sungai Cidanghiang yang mengalir di Desa
Lebak,
Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Banten, berisi pujian kepada
Raja Purnawarman.
- Prasasti Ciaruteun, Ciampea, Bogor ditemukan
pada aliran Ci Aruteun, seratus meter
dari pertemuan sungai tersebut dengan Ci Sadane;
namun pada tahun 1981
diangkat dan diletakkan di dalam cungkup. Prasasti ini peninggalan Purnawarman,
beraksara Palawa, berbahasa
Sanskerta.
- Prasasti Muara Cianten, Ciampea, Bogor
- Prasasti
Jambu, Nanggung, Bogor masih ada satu lagi prasasti lainnya yaitu
prasasti batu peninggalan Tarumanagara
yang terletak di puncak Bukit Koleangkak, Desa Pasir Gintung, Kecamatan
Leuwiliang. Pada bukit ini mengalir (sungai) Cikasungka.
- Prasasti Pasir Awi, Citeureup, Bogor
-
Prasasti Telapak Gajah
-
Prasasti Jambu
di daerah Bogor,
3.
KERAJAAN SRIWIJAYA
Catatan Sejarah
Sriwijaya merupakan kerajaan yang
bercorak agama Budha. Raja yang pertamanya bernama Sri Jaya Naga, sedangkan
raja yang paling terkenal adalah Raja Bala Putra Dewa.
Letaknya yang strategis di Selat
Malaka (Palembang) yang merupakan jalur pelayaran dan perdagangan
internasional.Keadaan alam Pulau Sumatera dan sekitarnya pada abad ke-7 berbeda
dengan keadaan sekarang. Sebagian besar pantai timur baru terbentuk kemudian.
Oleh karena itu Pulau Sumatera lebih sempit bila dibandingkan dengan sekarang,
sebaliknya Selat Malaka lebih lebar dan panjang. Beberapa faktor yang mendorong
perkembangan kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan besar antara lain sebagai
berikut :
- Kemajuan kegiatan perdagangan antara India dan Cina melintasi selat Malaka, sehingga membawa keuntungan yang besar bagi Sriwijaya.
- Keruntuhan Kerajaan Funan di Vietnam Selatan akibat serangan kerajaan Kamboja memberikan kesempatan bagi perkembangan Sriwijaya sebagai negara maritim (sarwajala) yang selama abad ke-6 dipegang oleh kerajaan Funan.
Budaya dan Perdagangan
Masyarakat yang kompleks dan kosmopolitan yang
sangat dipengaruhi alam pikiran Budha Wajrayana digambarkan bersemi di ibu kota
Sriwijaya. Beberapa prasasti Siddhayatra abad ke-7 seperti Prasasti Talang Tuwo menggambarkan ritual
Budha untuk memberkati peristiwa penuh berkah yaitu peresmian taman Sriksetra,
anugerah Maharaja Sriwijaya untuk rakyatnya. Prasasti Telaga Batu menggambarkan
kerumitan dan tingkatan jabatan pejabat kerajaan, sementara Prasasti Kota Kapur menyebutkan keperkasaan
balatentara Sriwijaya atas Jawa. Semua prasasti ini menggunakan bahasa Melayu Kuno, leluhur bahasa Melayu dan bahasa
Indonesia modern. Sejak abad ke-7, bahasa Melayu kuno telah
digunakan di Nusantara.
Ditandai dengan ditemukannya berbagai prasasti Sriwijaya dan beberapa prasasti
berbahasa Melayu Kuno di tempat lain, seperti yang ditemukan di pulau Jawa.
Hubungan dagang yang dilakukan berbagai suku bangsa Nusantara menjadi wahana
penyebaran bahasa Melayu, karena bahasa ini menjadi alat komunikasi bagi kaum
pedagang. Sejak saat itu, bahasa Melayu menjadi lingua franca
dan digunakan secara meluas oleh banyak penutur di Kepulauan Nusantara.
Meskipun memiliki kekuatan ekonomi dan
keperkasaan militer, Sriwijaya hanya meninggalkan sedikit tinggalan purbakala
di jantung negerinya di Sumatera. Sangat berbeda dengan episode Sriwijaya di
Jawa Tengah saat kepemimpinan wangsa Syailendra
yang banyak membangun monumen besar; seperti Candi Kalasan,
Candi Sewu,
dan Borobudur.
Candi-candi Budha yang berasal dari masa Sriwijaya di Sumatera antara lain Candi Muaro
Jambi, Candi Muara Takus, dan Biaro Bahal.
Akan tetapi tidak seperti candi periode Jawa Tengah yang terbuat dari batu
andesit, candi di Sumatera terbuat dari bata merah.
Beberapa arca-arca bersifat Budhisme, dan
arca-arca Bodhisatwa Awalokiteswara dari Jambi, Bidor, Perak
dan Chaiya,
dan arca Maitreya
dari Komering, Sumatera Selatan. Semua arca-arca ini menampilkan keanggunan dan
langgam yang sama yang disebut “Seni Sriwijaya" atau "Langgam/Gaya
Sriwijaya" yang memperlihatkan kemiripan — mungkin diilhami — oleh langgam
Amarawati India dan langgam Syailendra Jawa (sekitar abad ke-8 sampai ke-9).
Di dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi
pengendali jalur perdagangan antara India dan Tiongkok, yakni dengan penguasaan
atas Selat Malaka
dan Selat Sunda.
Orang Arab mencatat bahwa Sriwijaya memiliki aneka komoditas seperti kapur
barus, kayu gaharu, cengkeh, pala, kepulaga, gading, emas, dan timah, yang
membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India. Kekayaan yang melimpah ini
telah memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari vassal-vassal-nya di
seluruh Asia Tenggara. Dengan berperan sebagai entreport atau pelabuhan
utama di Asia Tenggara, dengan mendapatkan restu, persetujuan, dan perlindungan
dari Kaisar China untuk dapat berdagang dengan Tiongkok, Sriwijaya senantiasa
mengelola jejaring perdagangan bahari dan menguasi urat nadi pelayaran antara
Tiongkok dan India.
Karena alasan itulah Sriwijaya harus terus
menjaga dominasi perdagangannya dengan selalu mengawasi — dan jika perlu —
memerangi pelabuhan pesaing di negara jirannya. Selain menjalin hubungan dagang
dengan India
dan Tiongkok,
Sriwijaya juga menjalin perdagangan dengan tanah Arab.
4. KERAJAAN MATARAM
Nama dan Sejarah
Kerajaan Mataram diketahui dari Prasasti
Canggal yang berangka tahun 732 Masehi di Yogyakarta yang ditulis dalam huruf
Pallawa dan bahasa Sansekerta. Dalam prasasti itu disebutkan bahwa pada mulanya
Jawa (Yawadwipa) diperintah oleh Raja Sanna. Setelah ia wafat Sanjaya naik
tahta sebagai penggantinya. Sanjaya adalah putra Sannaha (saudara perempuan
Sanna).
Struktur
pemerintahan
Raja merupakan
pemimpin tertinggi Kerajaan Medang. Sanjaya
sebagai raja pertama memakai gelar Ratu. Pada zaman itu istilah Ratu belum identik dengan
kaum perempuan. Gelar ini setara dengan Datu yang berarti
"pemimpin". Keduanya merupakan gelar asli Indonesia.
Ketika Rakai
Panangkaran dari Wangsa
Sailendra berkuasa, gelar Ratu dihapusnya dan diganti dengan
gelar Sri Maharaja. Pemakaian gelar Sri Maharaja di Kerajaan Mataram
tetap dilestarikan oleh Rakai Pikatan meskipun Wangsa
Sanjaya berkuasa kembali. Jabatan tertinggi sesudah raja ialah Rakryan
Mahamantri i Hino atau kadang ditulis Rakryan Mapatih Hino. Jabatan
ini dipegang oleh putra atau saudara raja yang memiliki peluang untuk naik
takhta selanjutnya. Misalnya, Mpu Sindok merupakan Mapatih Hino pada
masa pemerintahan Dyah Wawa.
Jabatan Rakryan
Mapatih Hino pada zaman ini berbeda dengan Rakryan Mapatih pada
zaman Majapahit.
Patih zaman Majapahit setara dengan perdana
menteri namun tidak berhak untuk naik takhta.
Jabatan sesudah Mahamantri
i Hino secara berturut-turut adalah Mahamantri i Halu dan Mahamantri
i Sirikan. Jabatan tertinggi di Mataram selanjutnya ialah Rakryan
Kanuruhan sebagai pelaksana perintah raja.
Keadaan penduduk
Artifak emas
menunjukkan kekayaan dan kehalusan seni budaya kerajaan Mataram.
Penduduk Mataram
sejak periode Bhumi Mataram sampai periode Wwatan pada umumnya bekerja sebagai petani.
Kerajaan Medang memang terkenal sebagai negara agraris, sedangkan saingannya.
Agama resmi
Kerajaan Medang pada masa pemerintahan Sanjaya
adalah Hindu
aliran Siwa.
Ketika Sailendrawangsa berkuasa, agama resmi kerajaan
berganti menjadi Buddha
aliran Mahayana.
Kemudian pada saat Rakai Pikatan dari Sanjayawangsa
berkuasa, agama Hindu dan Buddha tetap hidup berdampingan dengan penuh
toleransi.
Peninggalan
sejarah
Avalokitesvara
lengan-dua. Jawa Tengah, abad ke-9/ke-10,
tembaga,
12,0 x 7,5 cm. Chundā lengan-empat, Jawa
Tengah, Wonosobo,
Dataran Tinggi Dieng, abad ke-9/10, perunggu,
11 x 8 cm. Dewi Tantra lengan-empat (Chundā), Jawa Tengah, Prambanan, abad ke
10, perunggu, 15 x 7,5 cm. Terletak di Museum für Indische Kunst,
Berlin-Dahlem.
Selain
meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti-prasasti yang tersebar di Jawa Tengah
dan Jawa Timur,
Kerajaan Mataram juga membangun banyak candi, baik itu yang
bercorak Hindu
maupun Buddha.
Temuan
Wonoboyo berupa artifak emas. Candi-candi peninggalan Kerajaan
Mataram antara lain, Candi Kalasan, Candi Plaosan,
Candi
Prambanan, Candi Sewu, Candi Mendut,
Candi Pawon,
dan tentu saja yang paling kolosal adalah Candi
Borobudur. Candi megah yang dibangun oleh Sailendrawangsa.
5. KERAJAAN KEDIRI
Kerajaan Kediri
atau Kerajaan Panjalu, adalah sebuah kerajaan yang terdapat di Jawa Timur
antara tahun 1042-1222. Kerajaan ini berpusat di kota Daha, yang terletak di
sekitar Kota Kediri.
Latar Belakang
Sesungguhnya
kota Daha sudah ada sebelum Kerajaan Kadiri berdiri. Daha merupakan singkatan
dari Dahanapura, yang berarti kota api. Nama ini terdapat dalam
prasasti Pamwatan yang dikeluarkan tahun 1042. Saat akhir pemerintahan Airlangga,
pusat kerajaan sudah tidak lagi berada di Kahuripan,
melainkan pindah ke Daha.
Pada akhir
November 1042, Airlangga terpaksa membelah wilayah kerajaannya karena kedua
putranya bersaing memperebutkan takhta. Putra yang bernama Sri
Samarawijaya mendapatkan kerajaan barat bernama Panjalu yang
berpusat di kota baru, yaitu Daha. Sedangkan putra yang bernama Mapanji
Garasakan mendapatkan kerajaan timur bernama Janggala
yang berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan.
Sebelum dibelah menjadi dua, nama kerajaan yang dipimpin Airlangga
sudah bernama Panjalu, yang berpusat di Daha. Jadi, Kerajaan
Janggala lahir sebagai pecahan dari Panjalu. Adapun Kahuripan
adalah nama kota lama yang sudah ditinggalkan Airlangga
dan kemudian menjadi ibu kota Janggala.
Pada mulanya,
nama Panjalu atau Pangjalu memang lebih sering dipakai dari pada nama Kadiri.
Hal ini dapat dijumpai dalam prasasti-prasasti yang diterbitkan oleh raja-raja
Kadiri. Bahkan, nama Panjalu juga dikenal sebagai Pu-chia-lung dalam kronik Cina
berjudul Ling wai tai ta (1178).
Perkembangan Kediri
Masa-masa awal
Kerajaan Panjalu atau Kadiri tidak banyak diketahui. Prasasti Turun Hyang II
(1044) yang diterbitkan Kerajaan Janggala hanya memberitakan adanya
perang saudara antara kedua kerajaan sepeninggal Airlangga.
Sejarah Kerajaan
Panjalu memiliki prasasti Sirah Keting tahun 1104 atas nama Sri Jayawarsa.
Kerajaan Panjalu di bawah pemerintahan Sri Jayabhaya
berhasil menaklukkan Kerajaan Janggala dengan semboyannya yang
terkenal dalam prasasti Ngantang (1135), yaitu Panjalu Jayati, atau Panjalu
Menang.
Pada masa
pemerintahan Sri Jayabhaya inilah, Kerajaan Panjalu
mengalami masa kejayaannya. Wilayah kerajaan ini meliputi seluruh Jawa dan beberapa pulau di
Nusantara,
bahkan sampai mengalahkan pengaruh Kerajaan Sriwijaya di Sumatra.
Pada masa itu
negeri paling kaya selain Cina secara berurutan adalah Arab,
Jawa, dan Sumatra.
Saat itu yang berkuasa di Arab adalah Bani
Abbasiyah, di Jawa ada Kerajaan Panjalu, sedangkan Sumatra
dikuasai Kerajaan Sriwijaya.
Karya Sastra
Zaman Kediri
Seni sastra
mendapat banyak perhatian pada zaman Kerajaan Panjalu-Kadiri. Pada tahun 1157 Kakawin Bharatayuddha ditulis oleh Mpu Sedah dan diselesaikan
Mpu Panuluh.
Kitab ini bersumber dari Mahabharata yang berisi kemenangan Pandawa
atas Korawa,
sebagai kiasan kemenangan Sri Jayabhaya atas Janggala.
Selain itu, Mpu Panuluh
juga menulis Kakawin Hariwangsa dan Ghatotkachasraya.
Terdapat pula pujangga zaman pemerintahan Sri Kameswara
bernama Mpu Dharmaja yang menulis Kakawin Smaradahana. Kemudian pada zaman
pemerintahan Kertajaya
terdapat pujangga bernama Mpu Monaguna yang menulis Sumanasantaka dan Mpu Triguna yang menulis Kresnayana.
Runtuhnya Kadiri
Kerajaan
Panjalu-Kadiri runtuh pada masa pemerintahan Kertajaya,
Pada tahun 1222 Kertajaya sedang berselisih melawan kaum brahmana
yang kemudian meminta perlindungan Ken Arok
akuwu Tumapel.
Kebetulan Ken Arok
juga bercita-cita memerdekakan Tumapel yang merupakan daerah bawahan Kadiri.
Perang antara Kadiri
dan Tumapel
terjadi dekat desa Ganter. Pasukan Ken Arok
berhasil menghancurkan pasukan Kertajaya. Dengan demikian berakhirlah masa Kerajaan Kadiri,
yang sejak saat itu kemudian menjadi bawahan Tumapel
atau Singhasari.
Setelah Ken Arok
mengangkat Kertajaya, Kadiri menjadi suatu wilayah dibawah kekuasaan
Singhasari. Ken Arok mengangkat Jayasabha, putra Kertajaya sebagai bupati
Kadiri. Tahun 1258 Jayasabha digantikan putranya yang bernama Sastrajaya. Pada
tahun 1271 Sastrajaya digantikan putranya, yaitu Jayakatwang.
Jayakatwang memberontak terhadap Singhasari yang dipimpin oleh Kertanegara,
karena dendam masa lalu dimana leluhurnya Kertajaya dikalahkan oleh Ken Arok.
Setelah berhasil membunuh Kertanegara, Jayakatwang membangun kembali Kerajaan
Kadiri, namun hanya bertahan satu tahun dikarenakan serangan gabungan yang
dilancarkan oleh pasukan Mongol dan pasukan menantu Kertanegara, Raden Wijaya.
Raja-Raja yang
Pernah Memerintah Kediri
Berikut adalah
nama-nama raja yang pernah memerintah di Daha, ibu kota Kadiri:
1.
Pada saat Daha menjadi ibu kota kerajaan yang masih utuh
Airlangga,
merupakan pendiri kota Daha sebagai pindahan kota Kahuripan.
Ketika ia turun takhta tahun 1042,
wilayah kerajaan dibelah menjadi dua. Daha kemudian menjadi ibu kota kerajaan
bagian barat, yaitu Panjalu.
2. Pada saat
Daha menjadi ibu kota Panjalu
-Sri
Samarawijaya, merupakan putra Airlangga
yang namanya ditemukan dalam prasasti Pamwatan (1042).
-Sri Jayawarsa,
berdasarkan prasasti Sirah Keting (1104)
-Sri Bameswara,
berdasarkan prasasti Padelegan I (1117), prasasti Panumbangan (1120), dan prasasti Tangkilan (1130).
-Sri Jayabhaya,
merupakan raja terbesar Panjalu, berdasarkan prasasti Ngantang (1135), prasasti
Talan (1136), dan Kakawin Bharatayuddha (1157).
-Sri
Sarweswara, berdasarkan prasasti Padelegan II (1159) dan prasasti
Kahyunan (1161).
-Sri Aryeswara,
berdasarkan prasasti Angin (1171).
-Sri Gandra,
berdasarkan prasasti Jaring (1181).
-Sri Kameswara,
berdasarkan prasasti Ceker (1182) dan Kakawin Smaradahana.
-Sri Kertajaya,
berdasarkan prasasti Galunggung (1194), Prasasti Kamulan (1194), prasasti Palah (1197), prasasti Wates Kulon (1205), Nagarakretagama,
dan Pararaton.
3.
Pada saat Daha menjadi bawahan Singhasari
Kerajaan Panjalu
runtuh tahun 1222 dan menjadi bawahan Singhasari.
Berdasarkan prasasti Mula Malurung, diketahui
raja-raja Daha zaman Singhasari, yaitu:
-Mahisa Wunga Teleng putra Ken Arok
-Tohjaya
kakak Guningbhaya
-Kertanagara
cucu Mahisa Wunga Teleng (dari pihak ibu), yang
kemudian menjadi raja Singhasari
4.
Pada saat Daha menjadi ibu kota Kadiri
Jayakatwang,
adalah keturunan Kertajaya yang menjadi bupati Gelang-Gelang. Tahun 1292 ia
memberontak hingga menyebabkan runtuhnya Kerajaan Singhasari. Jayakatwang
kemudian membangun kembali Kerajaan Kadiri. Tapi pada tahun 1293 ia dikalahkan Raden Wijaya
pendiri Majapahit.
5.
Pada saat Daha menjadi bawahan Majapahit
Sejak tahun 1293
Daha menjadi negeri bawahan Majapahit yang paling utama. Raja yang memimpin bergelar Bhre
Daha tapi hanya bersifat simbol, karena pemerintahan harian dilaksanakan oleh
patih Daha. Bhre Daha yang pernah menjabat ialah:
-Jayanagara
1295-1309 Nagarakretagama.47:2;
Prasasti Sukamerta -
didampingi Patih Lembu Sora
kemudian Gajah Mada.
-Jayeswari 1429-1464 Pararaton.30:8;
31:34; 32:18; Waringin Pitu
6.
Pada saat Daha menjadi ibu kota Majapahit
Menurut Suma Oriental
tulisan Tome Pires,
pada tahun 1513 Daha menjadi ibu kota Majapahit
yang dipimpin oleh Bhatara Wijaya. Nama raja ini identik dengan Dyah
Ranawijaya yang dikalahkan oleh Sultan
Trenggana raja Demak tahun 1527.
Sejak saat itu
nama Kediri
lebih terkenal dari pada Daha.
6. KERAJAAN SINGASARI
Kerajaan
Singhasari atau sering pula ditulis Singasari atau Singosari, adalah sebuah
kerajaan di Jawa Timur
yang didirikan oleh Ken Arok pada tahun 1222. Lokasi kerajaan ini sekarang diperkirakan berada di
daerah Singosari, Malang.
Nama Ibu Kota
Berdasarkan prasasti Kudadu, nama
resmi Kerajaan Singhasari yang sesungguhnya ialah Kerajaan Tumapel. Menurut Nagarakretagama,
ketika pertama kali didirikan tahun 1222, ibu kota Kerajaan Tumapel bernama Kutaraja.
Pada tahun 1253, Raja Wisnuwardhana
mengangkat putranya yang bernama Kertanagara
sebagai yuwaraja
dan mengganti nama ibu kota menjadi Singhasari. Nama Singhasari yang merupakan
nama ibu kota
kemudian justru lebih terkenal daripada nama Tumapel. Maka, Kerajaan Tumapel
pun terkenal pula dengan nama Kerajaan Singhasari.
Awal Berdiri
Menurut Pararaton,
Tumapel semula hanya sebuah daerah bawahan Kerajaan
Kadiri. Yang menjabat sebagai akuwu (setara camat) Tumapel
saat itu adalah Tunggul Ametung. Ia mati dibunuh dengan cara
tipu muslihat oleh pengawalnya sendiri yang bernama Ken Arok,
yang kemudian menjadi akuwu baru. Ken Arok juga yang mengawini istri Tunggul
Ametung yang bernama Ken Dedes. Ken Arok
kemudian berniat melepaskan Tumapel dari kekuasaan Kadiri.
Pada tahun 1254 terjadi perseteruan
antara Kertajaya
raja Kadiri
melawan kaum brahmana.
Para brahmana
lalu menggabungkan diri dengan Ken Arok yang mengangkat dirinya menjadi raja pertama Tumapel
bergelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi. Perang melawan Kadiri meletus
di desa Ganter yang dimenangkan oleh pihak Tumapel.
Nagarakretagama juga menyebut
tahun yang sama untuk pendirian Kerajaan Tumapel, namun tidak menyebutkan
adanya nama Ken Arok.
Dalam naskah itu, pendiri kerajaan Tumapel bernama Ranggah Rajasa Sang
Girinathaputra yang berhasil mengalahkan Kertajaya
raja Kadiri.
Prasasti Mula Malurung atas nama Kertanagara
tahun 1255,
menyebutkan kalau pendiri Kerajaan Tumapel adalah Bhatara Siwa. Nama ini adalah
gelar anumerta dari Ranggah Rajasa, karena dalam Nagarakretagama
arwah pendiri kerajaan Tumapel tersebut dipuja sebagai Siwa. Selain itu, Pararaton
juga menyebutkan bahwa, sebelum maju perang melawan Kadiri, Ken Arok
lebih dulu menggunakan julukan Bhatara Siwa.
Kerajaan Tumapel
disebutkan didirikan oleh Rajasa yang dijuluki "Bhatara Siwa",
setelah menaklukkan Kadiri.
Sepeninggalnya, kerajaan terpecah menjadi dua, Tumapel dipimpin Anusapati
sedangkan Kadiri
dipimpin Bhatara Parameswara (alias Mahisa Wonga Teleng). Parameswara digantikan
oleh Guningbhaya,
kemudian Tohjaya.
Sementara itu, Anusapati digantikan oleh Seminingrat yang bergelar Wisnuwardhana.
Prasasti Mula Malurung juga menyebutkan
bahwa sepeninggal Tohjaya,
Kerajaan Tumapel dan Kadiri dipersatukan kembali oleh Seminingrat. Kadiri kemudian
menjadi kerajaan bawahan yang dipimpin oleh putranya, yaitu Kertanagara.
Kejayaan
Kertanagara
adalah raja terakhir dan raja terbesar dalam sejarah Singhasari (1268 - 1292). Ia adalah raja
pertama yang mengalihkan wawasannya ke luar Jawa. Pada tahun 1275 ia mengirim pasukan Ekspedisi Pamalayu untuk menjadikan Sumatra
sebagai benteng pertahanan dalam menghadapi ekspansi bangsa Mongol. Saat
itu penguasa Sumatra adalah Kerajaan Dharmasraya (kelanjutan dari Kerajaan
Malayu). Kerajaan ini akhirnya dianggap telah ditundukkan, dengan
dikirimkannya bukti arca Amoghapasa yang dari Kertanagara,
sebagai tanda persahabatan kedua negara.
Pada tahun 1284, Kertanagara juga
mengadakan ekspedisi menaklukkan Bali. Pada tahun 1289 Kaisar Kubilai Khan mengirim utusan ke Singhasari
meminta agar Jawa
mengakui kedaulatan Mongol.
Namun permintaan itu ditolak tegas oleh Kertanagara.
Nagarakretagama menyebutkan daerah-daerah
bawahan Singhasari di luar Jawa pada masa Kertanagara
antara lain, Melayu, Bali, Pahang, Gurun, dan Bakulapura.
Keruntuhan
Candi Singhasari
dibangun sebagai tempat pemuliaan Kertanegara,
raja terakhir Singhasari.
Kerajaan
Singhasari yang sibuk mengirimkan angkatan perangnya ke luar Jawa akhirnya mengalami
keropos di bagian dalam. Pada tahun 1292 terjadi pemberontakan Jayakatwang
bupati Gelang-Gelang, yang merupakan sepupu, sekaligus ipar, sekaligus besan
dari Kertanagara
sendiri. Dalam serangan itu Kertanagara mati terbunuh.
Setelah
runtuhnya Singhasari, Jayakatwang menjadi raja dan membangun ibu kota
baru di Kadiri.
Riwayat Kerajaan Tumapel-Singhasari pun berakhir.
7.
KERAJAAN MAJAPAHIT
Majapahit adalah
sebuah kerajaan
yang berpusat di Jawa
Timur,
Indonesia,
yang pernah berdiri dari sekitar tahun 1293 hingga 1500 M. Kerajaan ini
mencapai puncak kejayaannya menjadi kemaharajaan
raya yang menguasai wilayah yang luas di Nusantara
pada masa kekuasaan Hayam Wuruk, yang berkuasa dari tahun 1350 hingga 1389.
Kerajaan
Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Nusantara dan
dianggap sebagai salah satu dari negara terbesar dalam sejarah
Indonesia. Kekuasaannya terbentang di Jawa, Sumatra,
Semenanjung Malaya, Kalimantan,
hingga Indonesia timur, meskipun wilayah kekuasaannya masih diperdebatkan.
Historiografi
Pararaton ('Kitab
Raja-raja') dalam bahasa Kawi
dan Nagarakretagama dalam bahasa Jawa
Kuno. Pararaton terutama menceritakan Ken Arok
(pendiri Kerajaan Singhasari) namun juga memuat beberapa
bagian pendek mengenai terbentuknya Majapahit. Sementara itu, Nagarakertagama
merupakan puisi Jawa Kuno yang ditulis pada masa keemasan
Majapahit di bawah pemerintahan Hayam Wuruk.
Selain itu, terdapat beberapa prasasti dalam bahasa Jawa Kuno maupun catatan sejarah dari Tiongkok
dan negara-negara lain.
Keakuratan semua
naskah berbahasa Jawa tersebut dipertentangkan.
Berdirinya
Majapahit
Sebelum
berdirinya Majapahit, Singhasari telah menjadi kerajaan paling kuat di Jawa. Hal ini
menjadi perhatian Kubilai Khan, penguasa Dinasti Yuan
di Tiongkok.
Ia mengirim utusan yang bernama Meng Chi ke Singhasari
yang menuntut upeti.
Kertanagara,
penguasa kerajaan Singhasari yang terakhir menolak untuk membayar upeti dan
mempermalukan utusan tersebut dengan merusak wajahnya dan memotong telinganya.
Kubilai Khan marah dan lalu memberangkatkan ekspedisi besar ke Jawa tahun 1293.
Ketika itu, Jayakatwang,
adipati Kediri, sudah menggulingkan dan membunuh
Kertanegara. Atas saran Aria Wiraraja, Jayakatwang memberikan
pengampunan kepada Raden Wijaya, menantu Kertanegara,
yang datang menyerahkan diri. Kemudian, Wiraraja mengirim utusan ke Daha, yang membawa surat
berisi pernyataan, Raden Wijaya menyerah dan ingin mengabdi kepada Jayakatwang.
Jawaban dari surat diatas disambut dengan senang hati. Raden Wijaya
kemudian diberi hutan Tarik. Ia membuka hutan
itu dan membangun desa baru. Desa itu dinamai Majapahit, yang namanya
diambil dari buah maja,
dan rasa "pahit" dari buah tersebut. Ketika pasukan Mongol tiba,
Wijaya bersekutu dengan pasukan Mongol untuk bertempur melawan Jayakatwang.
Setelah berhasil menjatuhkan Jayakatwang, Raden Wijaya berbalik menyerang
sekutu Mongolnya sehingga memaksa mereka menarik pulang kembali pasukannya
secara kalang-kabut karena mereka berada di negeri asing.
Saat itu juga merupakan kesempatan terakhir
mereka untuk menangkap angin muson agar dapat pulang, atau mereka terpaksa harus menunggu
enam bulan lagi di pulau yang asing.
Tanggal pasti
yang digunakan sebagai tanggal kelahiran kerajaan Majapahit adalah hari
penobatan Raden Wijaya sebagai raja, yaitu tanggal 15 bulan Kartika tahun 1215
saka yang bertepatan dengan tanggal 10 November
1293. Ia dinobatkan dengan
nama resmi Kertarajasa Jayawardhana. Kerajaan ini
menghadapi masalah. Beberapa orang terpercaya Kertarajasa, termasuk Ranggalawe,
Sora,
dan Nambi
memberontak melawannya, meskipun pemberontakan tersebut tidak berhasil.
Pemberontakan Ranggalawe ini didukung oleh Panji Mahajaya, Ra Arya Sidi, Ra
Jaran Waha, Ra Lintang, Ra Tosan, Ra Gelatik, dan Ra Tati. Semua ini tersebut
disebutkan dalam Pararaton.[15]
Slamet Muljana menduga bahwa mahapatih Halayudha lah yang
melakukan konspirasi untuk menjatuhkan semua orang tepercaya raja, agar ia
dapat mencapai posisi tertinggi dalam pemerintahan. Namun setelah kematian
pemberontak terakhir (Kuti),
Halayudha ditangkap dan dipenjara, dan lalu dihukum mati. Wijaya meninggal
dunia pada tahun 1309.
Putra dan
penerus Wijaya adalah Jayanegara. Pararaton menyebutnya Kala Gemet, yang berarti
"penjahat lemah". Kira-kira pada suatu waktu dalam kurun pemerintahan
Jayanegara, seorang pendeta Italia, Odorico da Pordenone mengunjungi keraton
Majapahit di Jawa.
Pada tahun 1328, Jayanegara dibunuh oleh tabibnya, Tanca. Ibu tirinya yaitu
Gayatri Rajapatni seharusnya menggantikannya, akan tetapi Rajapatni memilih
mengundurkan diri dari istana dan menjadi bhiksuni.
Rajapatni menunjuk anak perempuannya Tribhuwana Wijayatunggadewi untuk menjadi
ratu Majapahit. Pada tahun 1336, Tribhuwana menunjuk Gajah Mada
sebagai Mahapatih, pada saat pelantikannya Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa
yang menunjukkan rencananya untuk melebarkan kekuasaan Majapahit dan membangun
sebuah kemaharajaan. Selama kekuasaan Tribhuwana, kerajaan Majapahit berkembang
menjadi lebih besar dan terkenal di kepulauan Nusantara. Tribhuwana berkuasa di
Majapahit sampai kematian ibunya pada tahun 1350. Ia diteruskan oleh putranya, Hayam Wuruk.
Kejayaan
Majapahit
Hayam Wuruk,
juga disebut Rajasanagara, memerintah Majapahit dari tahun 1350 hingga 1389. Pada masanya
Majapahit mencapai puncak kejayaannya dengan bantuan mahapatihnya, Gajah Mada.
Di bawah perintah Gajah Mada (1313-1364), Majapahit menguasai lebih banyak
wilayah.
Daerah kekuasaan Majapahit meliputi Sumatra,
semenanjung Malaya, Kalimantan,
Sulawesi,
kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, Tumasik (Singapura)
dan sebagian kepulauan Filipina. Sumber ini menunjukkan batas terluas sekaligus
puncak kejayaan Kemaharajaan Majapahit.
Namun demikian,
batasan alam dan ekonomi menunjukkan bahwa daerah-daerah kekuasaan tersebut
tampaknya tidaklah berada di bawah kekuasaan terpusat Majapahit, tetapi terhubungkan
satu sama lain oleh perdagangan yang mungkin berupa monopoli oleh raja.
Majapahit juga memiliki hubungan dengan Campa, Kamboja,
Siam, Birma bagian selatan, dan Vietnam,
dan bahkan mengirim duta-dutanya ke Tiongkok.
Selain
melancarkan serangan dan ekspedisi militer, Majapahit juga menempuh jalan
diplomasi dan menjalin persekutuan. Kemungkinan karena didorong alasan politik,
Hayam Wuruk berhasrat mempersunting Citraresmi (Pitaloka), putri Kerajaan Sunda
sebagai permaisurinya.
Pihak Sunda menganggap lamaran ini
sebagai perjanjian persekutuan. Pada 1357 rombongan raja Sunda beserta keluarga
dan pengawalnya bertolak ke Majapahit mengantarkan sang putri untuk dinikahkan
dengan Hayam Wuruk. Akan tetapi Gajah Mada
melihat hal ini sebagai peluang untuk memaksa kerajaan Sunda takluk di bawah
Majapahit. Pertarungan antara keluarga kerajaan Sunda dengan tentara Majapahit
di lapangan Bubat tidak terelakkan. Meski dengan gagah berani memberikan
perlawanan, keluarga kerajaan Sunda kewalahan dan akhirnya dikalahkan. Hampir
seluruh rombongan keluarga kerajaan Sunda dapat dibinasakan secara kejam.
Tradisi menyebutkan bahwa sang putri yang kecewa, dengan hati remuk redam
melakukan "bela pati", bunuh diri
untuk membela kehormatan negaranya. Kisah Pasunda Bubat menjadi tema utama
dalam naskah Kidung Sunda yang disusun pada zaman kemudian
di Bali. Kisah ini disinggung dalam Pararaton
tetapi sama sekali tidak disebutkan dalam Nagarakretagama.
Budaya keraton
yang adiluhung, anggun, dan canggih, dengan cita rasa seni dan sastra yang
halus dan tinggi, serta sistem ritual keagamaan yang rumit. Sang pujangga
menggambarkan Majapahit sebagai pusat mandala raksasa yang
membentang dari Sumatera
ke Papua,
mencakup Semenanjung Malaya dan Maluku. Tradisi
lokal di berbagai daerah di Nusantara masih mencatat kisah legenda mengenai
kekuasaan Majapahit. Administrasi pemerintahan langsung oleh kerajaan Majapahit
hanya mencakup wilayah Jawa Timur dan Bali, di luar daerah itu
hanya semacam pemerintahan otonomi luas, pembayaran upeti berkala, dan
pengakuan kedaulatan Majapahit atas mereka. Akan tetapi segala pemberontakan
atau tantangan bagi ketuanan Majapahit atas daerah itu dapat mengundang reaksi
keras.
Pada tahun 1377,
beberapa tahun setelah kematian Gajah Mada, Majapahit melancarkan serangan laut
untuk menumpas pemberontakan di Palembang.
Meskipun
penguasa Majapahit memperluas kekuasaannya pada berbagai pulau dan
kadang-kadang menyerang kerajaan tetangga, perhatian utama Majapahit nampaknya
adalah mendapatkan porsi terbesar dan mengendalikan perdagangan di kepulauan
Nusantara. Pada saat inilah pedagang muslim dan
penyebar agama Islam mulai memasuki kawasan ini.
Jatuhnya Majapahit
Sesudah mencapai
puncaknya pada abad ke-14, kekuasaan Majapahit
berangsur-angsur melemah. Setelah wafatnya Hayam Wuruk pada tahun 1389,
Majapahit memasuki masa kemunduran akibat konflik perebutan takhta. Pewaris
Hayam Wuruk adalah putri mahkota Kusumawardhani, yang menikahi sepupunya
sendiri, pangeran Wikramawardhana. Hayam Wuruk juga memiliki seorang
putra dari selirnya Wirabhumi yang juga menuntut haknya atas
takhta. Perang saudara yang disebut Perang
Paregreg diperkirakan terjadi pada tahun 1405-1406, antara Wirabhumi
melawan Wikramawardhana. Perang ini akhirnya dimenangi Wikramawardhana,
semetara Wirabhumi ditangkap dan kemudian dipancung. Tampaknya perang saudara
ini melemahkan kendali Majapahit atas daerah-daerah taklukannya di seberang.
Pada kurun
pemerintahan Wikramawardhana, serangkaian ekspedisi laut Dinasti Ming
yang dipimpin oleh laksamana Cheng Ho, seorang jenderal muslim China, tiba di Jawa beberapa
kali antara kurun waktu 1405 sampai 1433. Sejak tahun 1430 ekspedisi Cheng Ho
ini telah menciptakan komunitas muslim China dan Arab di beberapa kota
pelabuhan pantai utara Jawa, seperti di Semarang,
Demak,
Tuban,
dan Ampel;
maka Islam pun mulai memiliki pijakan di pantai utara Jawa.
Wikramawardhana
memerintah hingga tahun 1426, dan diteruskan oleh putrinya, Ratu Suhita, yang
memerintah pada tahun 1426 sampai 1447. Ia adalah putri kedua Wikramawardhana
dari seorang selir yang juga putri kedua Wirabhumi. Pada 1447, Suhita mangkat
dan pemerintahan dilanjutkan oleh Kertawijaya,
adik laki-lakinya.
Ia memerintah
hingga tahun 1451. Setelah Kertawijaya wafat, Bhre Pamotan
menjadi raja dengan gelar Rajasawardhana dan memerintah di Kahuripan. Ia wafat
pada tahun 1453 AD. Terjadi jeda waktu tiga tahun tanpa raja akibat krisis
pewarisan takhta. Girisawardhana, putra Kertawijaya, naik takhta
pada 1456. Ia kemudian wafat pada 1466 dan digantikan oleh
Singhawikramawardhana. Pada 1468 pangeran Kertabhumi memberontak terhadap
Singhawikramawardhana dan mengangkat dirinya sebagai raja Majapahit.
Ketika Majapahit
didirikan, pedagang Muslim
dan para penyebar agama sudah mulai memasuki Nusantara.
Pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15, pengaruh Majapahit di seluruh
Nusantara mulai berkurang. Pada saat bersamaan, sebuah kerajaan perdagangan
baru yang berdasarkan Islam,
yaitu Kesultanan Malaka, mulai muncul di bagian barat
Nusantara[23].
Di bagian barat kemaharajaan yang mulai runtuh ini, Majapahit tak kuasa lagi
membendung kebangkitan Kesultanan Malaka yang pada pertengahan abad
ke-15 mulai menguasai Selat Malaka dan melebarkan kekuasaannya ke
Sumatera. Sementara itu beberapa jajahan dan daerah taklukan Majapahit di
daerah lainnya di Nusantara, satu per satu mulai melepaskan diri dari kekuasaan
Majapahit.
Kebudayaan.
Nagarakretagama
menyebutkan budaya keraton yang adiluhung dan anggun, dengan cita rasa seni dan
sastra yang halus, serta sistem ritual keagamaan yang rumit. Peristiwa utama
dalam kalender tata negara digelar tiap hari pertama bulan Caitra (Maret-April)
ketika semua utusan dari semua wilayah taklukan Majapahit datang ke istana
untuk membayar upeti
atau pajak.
Kawasan Majapahit secara sederhana terbagi dalam tiga jenis: keraton termasuk
kawasan ibu kota dan sekitarnya; wilayah-wilayah di Jawa Timur dan Bali yang
secara langsung dikepalai oleh pejabat yang ditunjuk langsung oleh raja; serta
wilayah-wilayah taklukan di kepulauan Nusantara yang menikmati otonomi
luas.
Ibu kota
Majapahit di Trowulan
merupakan kota besar dan terkenal dengan perayaan besar keagamaan yang
diselenggarakan setiap tahun. Agama Buddha,
Siwa, dan Waisnawa
(pemuja Wisnu)
dipeluk oleh penduduk Majapahit, dan raja dianggap sekaligus titisan Buddha,
Siwa, maupun Wisnu. Nagarakertagama sama sekali tidak menyinggung tentang Islam, akan tetapi sangat
mungkin terdapat beberapa pegawai atau abdi istana muslim saat itu.
Walaupun batu bata
telah digunakan dalam candi
pada masa sebelumnya, arsitek Majapahitlah yang paling ahli menggunakannya.
Candi-candi Majapahit berkualitas baik secara geometris dengan memanfaatkan
getah tumbuhan merambat dan gula merah
sebagai perekat batu bata. Contoh candi Majapahit yang masih dapat ditemui
sekarang adalah Candi Tikus dan Gapura Bajang Ratu di Trowulan, Mojokerto.
Raja [Jawa]
memiliki bawahan tujuh raja bermahkota. [Dan] pulaunya berpenduduk banyak,
merupakan pulau terbaik kedua yang pernah ada.... Raja pulau ini memiliki
istana yang luar biasa mengagumkan. Karena sangat besar, tangga dan bagian
dalam ruangannya berlapis emas dan perak, bahkan atapnya pun bersepuh emas.
Kini Khan Agung dari China beberapa kali berperang melawan raja ini; akan tetapi
selalu gagal dan raja ini selalu berhasil mengalahkannya."
Ekonomi
Majapahit
merupakan negara agraris
dan sekaligus negara perdagangan. Pajak dan denda dibayarkan dalam
uang tunai. Ekonomi Jawa telah sebagian mengenal mata uang sejak abad ke-8 pada
masa kerajaan Medang
yang menggunakan butiran dan keping uang emas dan perak. Sekitar tahun 1300,
pada masa pemerintahan raja pertama Majapahit, sebuah perubahan moneter penting
terjadi: keping uang dalam negeri diganti dengan uang "kepeng" yaitu
keping uang tembaga impor dari China. Prasasti Canggu yang berangka tahun 1358
menyebutkan sebanyak 78 titik perlintasan berupa tempat perahu penyeberangan di
dalam negeri (mandala Jawa). Prasasti
dari masa Majapahit menyebutkan berbagai macam pekerjaan dan spesialisasi
karier, mulai dari pengrajin emas dan perak, hingga penjual minuman, dan jagal
atau tukang daging. Meskipun banyak di antara pekerjaan-pekerjaan ini sudah ada
sejak zaman sebelumnya, namun proporsi populasi yang mencari pendapatan dan
bermata pencarian di luar pertanian semakin meningkat pada era Majapahit.
Mata uangnya
dibuat dari campuran perak,
timah putih,
timah hitam,
dan tembaga.
Selain itu, catatan Odorico da Pordenone, biarawan Katolik Roma
dari Italia
yang mengunjungi Jawa pada tahun 1321, menyebutkan bahwa istana raja Jawa penuh dengan
perhiasan emas, perak, dan permata.
Kemakmuran
Majapahit diduga karena dua faktor. Faktor pertama; lembah sungai Brantas
dan Bengawan Solo
di dataran rendah Jawa Timur utara sangat cocok untuk pertanian padi. Pada masa jayanya
Majapahit membangun berbagai infrastruktur irigasi, sebagian dengan dukungan
pemerintah. Faktor kedua; pelabuhan-pelabuhan Majapahit di pantai utara Jawa
mungkin sekali berperan penting sebagai pelabuhan pangkalan untuk mendapatkan
komoditas rempah-rempah Maluku. Pajak
yang dikenakan pada komoditas rempah-rempah yang melewati Jawa merupakan sumber
pemasukan penting bagi Majapahit.
Nagarakretagama
menyebutkan bahwa kemashuran penguasa Wilwatikta telah menarik banyak pedagang
asing, di antaranya pedagang dari India, Khmer, Siam,
dan China.
Pajak khusus dikenakan pada orang asing terutama yang menetap semi-permanen di
Jawa dan melakukan pekerjaan selain perdagangan internasional. Majapahit
memiliki pejabat sendiri untuk mengurusi pedagang dari India dan Tiongkok
yang menetap di ibu kota kerajaan maupun berbagai tempat lain di wilayah
Majapahit di Jawa.
Politik
Kesultanan-kesultanan
Islam Demak, Pajang,
dan Mataram berusaha mendapatkan legitimasi atas
kekuasaan mereka melalui hubungan ke Majapahit. Demak menyatakan legitimasi
keturunannya melalui Kertabhumi; pendirinya, Raden Patah,
menurut babad-babad keraton Demak dinyatakan sebagai anak Kertabhumi dan
seorang Putri Cina, yang dikirim ke luar istana sebelum ia melahirkan.
Penaklukan Mataram atas Wirasaba tahun 1615 yang
dipimpin langsung oleh Sultan Agung sendiri memiliki arti penting
karena merupakan lokasi ibukota Majapahit. Keraton-keraton Jawa Tengah memiliki
tradisi dan silsilah yang berusaha membuktikan hubungan para rajanya dengan
keluarga kerajaan Majapahit — sering kali dalam bentuk makam leluhur, yang di
Jawa merupakan bukti penting — dan legitimasi dianggap meningkat melalui
hubungan tersebut. Bali secara khusus mendapat pengaruh besar dari Majapahit,
dan masyarakat Bali menganggap diri mereka penerus sejati kebudayaan Majapahit.
Para penggerak
nasionalisme Indonesia modern, termasuk mereka yang terlibat Gerakan Kebangkitan Nasional di awal abad
ke-20, telah merujuk pada Majapahit, disamping Sriwijaya, sebagai contoh gemilang masa lalu
Indonesia. Majapahit kadang dijadikan acuan batas politik negara Republik
Indonesia saat ini. Dalam propaganda yang dijalankan tahun 1920-an, Partai Komunis Indonesia menyampaikan
visinya tentang masyarakat tanpa kelas sebagai penjelmaan kembali dari
Majapahit yang diromantiskan. Sebagaimana Majapahit, negara Indonesia modern
meliputi wilayah yang luas dan secara politik berpusat di pulau Jawa.
Struktur
pemerintahan
Majapahit
memiliki struktur pemerintahan dan susunan birokrasi
yang teratur pada masa pemerintahan Hayam Wuruk,
dan tampaknya struktur dan birokrasi tersebut tidak banyak berubah selama
perkembangan sejarahnya. Raja dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia dan ia
memegang otoritas politik
tertinggi.
8. KERAJAAN KURIPAN
Kerajaan
Kuripan, atau disebut pula Kahuripan, adalah kerajaan
kuno yang beribukota di kecamatan
Danau Panggang, Hulu Sungai
Utara, Kalimantan Selatan. Kerajaan Kuripan berlokasi
di sebelah hilir dari negeri Candi Agung (Amuntai Tengah).
Pusat
pemerintahan kerajaan ini berpindah-pindah di sekitar Kabupaten Hulu Sungai
Utara dan Kabupaten Tabalong saat ini. Kabupaten Tabalong
terletak di sebelah hulu dari Kabupaten Hulu Sungai Utara, karena di kawasan
Kabupaten Hulu Sungai Utara sungai Bahan/sungai Negara bercabang ke arah
hulunya menjadi dua yaitu daerah aliran sungai Tabalong dan daerah aliran
sungai Balangan. Menurut kebiasaan di Kalimantan,
penamaan sebuah sungai biasanya berdasarkan nama kawasan yang ada di sebelah
hulunya. Karena itu penamaan sungai Tabalong berdasarkan nama daerah yang ada
di sebelah hulu dari sungai tersebut, yang pada zaman Hindia Belanda disebut Distrik
Tabalong. Sungai Tabalong adalah anak sungai Bahan, sedangkan sungai
Bahan adalah anak sungai Barito yang bermuara ke laut Jawa.
Nama Kerajaan
Kuripan sebutan lain dari Kerajaan Tabalong yang disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama yang ditulis pujangga
Majapahit
yakni Mpu Prapanca
pada tahun 1365.
Sebutan Kerajaan
Tabalong berdasarkan nama kawasan dimana kerajaan tersebut berada. Sedangkan
nama Kuripan mungkin nama ibukotanya saat itu. Nama Kuripan adalah nama lama
kota Amuntai di Kabupaten Hulu Sungai Utara yang terletak di sekitar muara
sungai Tabalong.
Pemerintahan
suku Maanyan di kerajaan Nan Sarunai mendapat serangan dari Jawa (Majapahit)
sebanyak dua kali yang disebut orang Maanyan dengan istilah Nansarunai Usak
Jawa, sehingga suku Maanyan menyingkir ke pedalaman pada daerah yang dihuni
suku Lawangan kecuali sebagian yang kemudian bergabung ke dalam pemerintahan
orang Majapahit. Diduga serangan yang kedua adalah serangan dari Pangeran Surya
Nata I yang telah mengokohkan kedudukannya sebagai Raja Negara Dipa setelah
menikah dengan Putri Junjung Buih. Menurut orang Maanyan, kerajaan Nan Sarunai
ini telah ada pengaruh Hindu, yaitu adanya pembakaran tulang-tulang dalam
upacara kematian suku Maanyan, yang merupakan aliran Hindu-Kaharingan,
sebelumnya tidak dikenal pembakaran tulang-tulang dalam agama Kaharingan yang
asli. Periode Kerajaan Kuripan/Nan Sarunai ini sezaman dengan Kerajaan Kutai Martadipura.
9. KERAJAAN KALINGGA
Kalingga atau
Ho-ling (sebutan dari sumber Tiongkok) adalah sebuah kerajaan
bercorak Hindu
yang muncul di Jawa Tengah sekitar abad ke-6 masehi. Letak
pusat kerajaan ini berada di antara Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten
Jepara sekarang. Tradisi kisah setempat, dan naskah Carita Parahyangan yang disusun berabad-abad
kemudian pada abad ke-16 menyinggung secara singkat mengenai Ratu Shima dan
kaitannya dengan Kerajaan Galuh. Kalingga telah ada pada abad ke-6 Masehi dan
keberadaannya diketahui dari sumber-sumber Tiongkok.
Kerajaan ini pernah diperintah oleh Ratu Shima,
yang dikenal memiliki peraturan barang siapa yang mencuri, akan dipotong tangannya.
Kisah lokal
Terdapat kisah
yang berkembang di Jawa Tengah utara mengenai seorang Maharani legendaris yang
menjunjung tinggi prinsip keadilan dan kebenaran dengan keras tanpa pandang
bulu. Kisah legenda ini bercerita mengenai Ratu Shima yang mendidik rakyatnya
agar selalu berlaku jujur dan menindak keras kejahatan pencurian. Ia menerapkan
hukuman yang keras yaitu pemotongan tangan bagi siapa saja yang mencuri. Pada
suatu ketika seorang raja dari seberang lautan mendengar mengenai kemashuran
rakyat kerajaan Kalingga yang terkenal jujur dan taat hukum. Untuk mengujinya
ia meletakkan sekantung uang emas di persimpangan jalan dekat pasar. Tak ada
sorang pun rakyat Kalingga yang berani menyentuh apalagi mengambil barang yang
bukan miliknya. Hingga tiga tahun kemudian kantung itu disentuh oleh putra
mahkota dengan kakinya. Ratu Shima demi menjunjung hukum menjatuhkan hukuman
mati kepada putranya, dewan menteri memohon agar Ratu mengampuni kesalahan
putranya. Karena kaki sang pangeranlah yang menyentuh barang yang bukan
miliknya, maka sang pangeran dijatuhi hukuman dipotong kakinya
10. Kerajaan Buleleng dan Kerajaan Dinasti Warmadewa di Bali
Kerajaan Buleleng adalah suatu kerajaan di Bali
bagian utara yang didirikan sekitar pertengahan abad ke-17
dan jatuh ke tangan Belanda pada tahun 1849.
Kerajaan ini dibangun oleh I Gusti Anglurah
Panji Sakti dari Wangsa Kepakisan dengan
cara menyatukan seluruh wilayah wilayah Bali Utara yang sebelumnya dikenal
dengan nama Den Bukit.
Gusti Ngurah Karangasem, raja Buleleng ke-12, dan 400 pengikutnya memilih tewas
daripada menyerah saat perang di Benteng Jagaraga (1849).I Gusti Anglurah Panji Sakti, yang sewaktu kecil bernama I Gusti Gde
Pasekan adalah putra I Gusti Ngurah
Jelantik dari seorang selir bernama Si Luh Pasek Gobleg berasal dari
Desa Panji wilayah Den Bukit. I Gusti Panji memiliki kekuatan supra natural
dari lahir. I Gusti Ngurah Jelantik merasa khawatir kalau I Gusti Ngurah Panji
kelak akan menyisihkan putra mahkota. Dengan cara halus I Gusti Ngurah Panji
yang masih berusia 12 tahun disingkirkan ke Den Bukit, ke desa asal ibunya,
Desa Panji.I Gusti Ngurah Panji menguasai wilayah Den Bukit dan menjadikannya Kerajaan
Buleleng, yang kekuasaannya pernah meluas sampai ke ujung timur pulau Jawa
(Blambangan). Setelah I Gusti Ngurah Panji Sakti wafat pada tahun 1704, Kerajaan Buleleng
mulai goyah karena putra-putranya punya pikiran yang saling berbeda.Dikuasai Mengwi dan KarangasemKerajaan Buleleng tahun 1732
dikuasai Kerajaan Mengwi namun
kembali merdeka pada tahun 1752. Selanjutnya jatuh ke dalam kekuasaan raja Karangasem 1780. Raja Karangasem, I
Gusti Gde Karang membangun istana dengan nama Puri Singaraja. Raja berikutnya
adalah putranya bernama I Gusti Pahang Canang yang berkuasa sampai 1821.Perlawanan terhadap BelandaPada tahun 1846
Buleleng diserang pasukan Belanda, tetapi mendapat perlawanan sengit pihak
rakyat Buleleng yang dipimpin oleh Patih / Panglima Perang I Gusti Ketut Jelantik. Pada tahun 1848 Buleleng kembali
mendapat serangan pasukan angkatan laut Belanda di Benteng Jagaraga. Pada
serangan ketiga, tahun 1849 Belanda dapat menghancurkan benteng Jagaraga dan
akhirnya Buleleng dapat dikalahkan Belanda. Sejak itu Buleleng dikuasai oleh
pemerintah kolonial Belanda.
Latar Belakang
Daftar raja Buleleng
Gusti Ngurah Ketut Jelantik, raja Buleleng ke-14, dalam pakaian berburunya. Lukisan AA Panji Tisna, raja Buleleng ke-16.Berikut daftar raja-raja yang berkuasa di Kerajaan Buleleng:
Wangsa Panji Sakti (1660-?)
Nama
|
Jangka hidup
|
Awal memerintah
|
Akhir memerintah
|
Keterangan
|
Keluarga
|
Gambar
|
Gusti Anglurah Panji Sakti
|
1660
|
1697/99
|
||||
Gusti Panji Gede Danudarastra
|
1697/99
|
1732
|
Anak dari Gusti Anglurah Panji Sakti
|
|||
Gusti Alit Panji
|
1732
|
1757/65
|
Anak dari Gusti Panji Gede Danudarastra
|
|||
Gusti Ngurah Panji
|
1757/65
|
1757/65
|
Anak dari Gusti Alit Panji
|
|||
Gusti Ngurah Jelantik
|
1757/65
|
1780
|
Anak dari Gusti Ngurah Panji
|
|||
Gusti Made Singaraja
|
1793
|
?
|
Keponakan dari Gusti Made Jelantik
|
Wangsa Karangasem (?-1849)
Nama
|
Jangka hidup
|
Awal memerintah
|
Akhir memerintah
|
Keterangan
|
Keluarga
|
Gambar
|
Anak Agung Rai
|
?
|
1806
|
Anak dari Gusti Gede Ngurah Karangasem
|
|||
Gusti Gede Karang
|
1806
|
1818
|
Saudara dari Anak Agung Rai
|
|||
Gusti Gede Ngurah Pahang
|
1818
|
1822
|
Anak dari Gusti Gede Karang
|
|||
Gusti Made Oka Sori
|
1822
|
1825
|
Anak dari Gusti Gede Karang
|
|||
Gusti Ngurah Made Karangasem
|
1825
|
1849
|
Keponakan dari Gusti Gede Karang
|
Wangsa Karangasem (?-1849)
Nama
|
Jangka hidup
|
Awal memerintah
|
Akhir memerintah
|
Keterangan
|
Keluarga
|
Gambar
|
Anak Agung Rai
|
?
|
1806
|
Anak dari Gusti Gede Ngurah Karangasem
|
|||
Gusti Gede Karang
|
1806
|
1818
|
Saudara dari Anak Agung Rai
|
|||
Gusti Gede Ngurah Pahang
|
1818
|
1822
|
Anak dari Gusti Gede Karang
|
|||
Gusti Made Oka Sori
|
1822
|
1825
|
Anak dari Gusti Gede Karang
|
|||
Gusti Ngurah Made Karangasem
|
1825
|
1849
|
Keponakan dari Gusti Gede Karang
|
Nama
|
Jangka hidup
|
Awal memerintah
|
Akhir memerintah
|
Keterangan
|
Keluarga
|
Gambar
|
Gusti Made Rahi
|
1849
|
1853
|
Keturunan dari Gusti Ngurah Panji
|
|||
Gusti Ketut Jelantik
|
1854
|
1872
|
Keturunan dari Gusti Ngurah Jelantik
|
|||
Anak Agung Putu Jelantik
|
1929
|
1944
|
Keturunan dari Gusti Ngurah Jelantik
|
|||
Anak Agung Nyoman Panji Tisna
|
1944
|
1947
|
Anak dari Anak Agung Putu Jelantik
|
|||
Anak Agung Ngurah Ketut Jelantik
|
1947
|
1950
|
Saudara dari Anak Agung Nyoman Panji
Tisna
|
Wangsa Warmadewa
Wangsa (dinasti) Warmadewa adalah keluarga
bangsawan yang pernah berkuasa di Pulau Bali.
Pendiri dinasti ini adalah Sri Kesari Warmadewa, menurut riwayat lisan
turun-temurun, yang berkuasa sejak abad ke-10. Namanya disebut-sebut
dalam prasasti Blanjong di Sanur dan menjadikannya sebagai raja
Bali pertama yang disebut dalam catatan tertulis. Menurut prasasti ini,
Sri Kesari adalah penganut Buddha Mahayana yang ditugaskan dari Jawa untuk memerintah
Bali. Dinasti inilah yang memiliki hubungan dekat dengan penguasaKerajaan Medang periode
Jawa Timur pada abad ke-10 hingga ke-11.Raja-raja anggota wangsa
WarmadewaBerikut adalah raja-raja yang dianggap termasuk dalam
wangsa Warmadewa:
- Sri Kesari Warmadewa ( 914 M)
- Sang Ratu Ugrasena (915 M- 942 M)
- Sri Tabanendra Warmadewa (943 M - 961 M)
- Candra-bhaya-singha-Warmadewa ( 962 M - 975 M)
- Janasadu Warmadewa ( 975 M -988 M)
- Udayana Warmadewa (989 M - 910 M)
- Dharmawangsa Warmadewa (memerintah Medang)
- Airlangga (991-1049, penguasa Kerajaan Kahuripan)
- Anak Wungsu (1049- ? )Terdapat pula "cabang" dari wangsa Warmadewa yang dikenal sebagai wangsa Jaya, dengan dua penguasa:
- Jayasakti (memerintah 1146-1151)Jayapangus (memerintah 1178-81)
- Gusti Anglurah Panji Sakti
- Wangsa Panji Sakti (1849-195)
Latar Belakang
Kerajaan Tulangbawang adalah salah suatu kerajaan yang pernah berdiri di Lampung. Kerajaan ini berlokasi di sekitar Kabupaten Tulang Bawang, Lampung sekarang. Tidak banyak catatan sejarah yang memberikan keterangan mengenai kerajaan ini. Musafir Tiongkok yang pernah mengunjungi Nusantara pada abad VII, yaitu I Tsing yang merupakan seorang peziarah Buddha, dalam catatannya menyatakan pernah singgah di To-Lang P'o-Hwang ("Tulangbawang"), suatu kerajaan di pedalaman Chrqse (Pulau Sumatera). Namun Tulangbawang lebih merupakan satu Kesatuan Adat. Tulang Bawang yang pernah mengalami kejayaan pada Abad ke VII M. Sampai saat ini belum ada yang bisa memastikan pusat kerajaan Tulang Bawang, namun ahli sejarah Dr. J. W. Naarding memperkirakan pusat kerajaan ini terletak di hulu Way Tulang Bawang (antara Menggala dan Pagardewa) kurang lebih dalam radius 20 km dari pusat kota Menggala. Seiring dengan makin berkembangnya kerajaan Che-Li-P'o Chie (Sriwijaya), nama Kerajaan Tulang Bawang semakin memudar. Tidak ada catatan sejarah mengenai kerajaan ini yang ada adalah cerita turun temurun yang diketahui oleh penyimbang adat, namun karena Tulang Bawang menganut adat Pepadun, yang memungkinkan setiap khalayak untuk berkuasa dalam komunitas ini, maka Pemimpin Adat yang berkuasa selalu berganti ganti Trah. Hingga saat ini belum diketemukan benda benda arkeologis yang mengisahkan tentang alur dari kerajaan ini.
12. Kerajaan Kota Kapur
Latar Belakang
Pusat
kekuasaan tersebut meninggalkan banyak temuan arkeologi berupa
sisa-sisa dari sebuah bangunan candi Hindu (Waisnawa) yang terbuat
dari batu lengkap dengan arca-arca batu, di antaranya yaitu dua buah
arca Wisnu dengan gaya mirip dengan arca-arca Wisnu yang ditemukan di
daerah Lembah Mekhing, Semenanjung Malaka, dan Cibuaya, Jawa Barat,
yang berasal dari masa sekitar abad ke-5 dan ke-7 masehi.
Sebelumnya,
di situs Kota Kapur selain telah ditemukan sebuah inskripsi batu dari
Kerajaan Sriwijaya yang berangka tahun 608 Saka (=686 Masehi), telah
ditemukan pula peninggalan - peninggalan lain yaitu di antaranya
sebuah arca Wisnu dan sebuah arca Durga Mahisasuramardhini. Dari
peninggalan-peninggalan arkeologi tersebut nampaknya kekuasaan di
Pulau Bangka pada waktu itu bercorak Hindu-Waisnawa, seperti halnya
di Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat.
Temuan
lain yang penting dari situs Kota Kapur ini adalah peninggalan berupa
benteng pertahanan yang kokoh berbentuk dua buah tanggul sejajar
terbuat dari timbunan tanah, masingmasing panjangnya sekitar 350
meter dan 1200 meter dengan ketinggian sekitar 2–3 meter.
Penanggalan dari tanggul benteng ini menunjukkan masa antara tahun
530 M sampai 870 M. Benteng pertahanan tersebut yang telah dibangun
sekitar pertengahan abad ke-6 tersebut agaknya telah berperan pula
dalam menghadapi ekspansi Sriwijaya ke Pulau Bangka menjelang akhir
abad ke-7.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa:
1. Letak
Indonesia yang strategis dan penghasil rempah-rempah membuat Indonesia
dikunjungi bangsa asing yang berniat berdagang sekaligus menyebarkan
agama.
2. Berkembangnya kebudayaan India (Hindu-Budha) ditandai dengan berdirinya berbagai kerajaan yang bercorak Hindu-Budha.
3. Hadirnya kebudayaan India menambah keanekaragaman budaya di Indonesia.
4. Kebudayaan India mempengaruhi banyak aspek kehidupan di Indonesia diantaranya : bidang kepercayaan atau agama, bahasa, organisasi sosial kemasyarakatan, bidang sosial, system pengetahuan, teknologi dan kesenian.
3.2 Saran
1. Kita sebagai generasi muda hendaknya melestarikan budaya dan peninggalan sejarah.
2. Sebagai
negara yang mempunyai posisi strategis yang sering mendapat pengaruh
kebudayaan asing hendaknya kita mampu memfilter sehingga kebudayaan asli
Indonesia itu sendiri tidak hilang.
3. Sebagai
warga Negara yang cinta pada tanah air, hendaknya kita mampu menerapkan
nilai-nilai budaya yang positif agar bangsa kita ini menjadi bangsa
yang berkarakter.
DAFTAR PUSTAKA
Zulkifli, dkk. (2009). Konsep Dasar IPS. Pekanbaru: Cendikia Insani.
buddha.html.
http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Tulang_Bawang
http://buihkata.blogspot.com/2014/08/sejarah-singkat-kerajaan-kota-kapur.html
http://richawahyuni.blogspot.com/2014/05/kerajaan-kerajaan-hindu-budha-di.html.
0 komentar :
Posting Komentar