Perjuangan Menghadapi Ancaman Disintegrasi Bangsa
Termasuk
dalam kategori ini adalah pemberontakan PKI Madiun, pemberontakan
DI/TII dan peristiwa G30S/PKI. Ideologi yang diusung oleh PKI tentu saja
komunisme, sedangkan pemberontakan DI/TII berlangsung dengan membawa
ideologi agama.
Perlu
kalian ketahui bahwa menurut Herbert Feith, seorang akademisi
Australia, aliran politik besar yang terdapat di Indonesia pada masa
setelah kemerdekaan (terutama dapat dilihat sejak Pemilu 1955) terbagi
dalam lima kelompok : nasionalisme radikal (diwakili antara lain oleh
PNI), Islam (NU dan Masyumi), komunis (PKI), sosialisme demokrat (Partai
Sosialis Indonesia/
PSI),dantradisionalisJawa(PartaiIndonesiaRaya/PIR,kelompteosofisk kebatinan, dan birokrat pemerintah/pamongpraja). Pada masa itu kelompok-
kelompok tersebut nyatanya memang saling bersaing dengan mengusung ideologi masing-masing.
2. Peristiwa konflik dan pergolakan yang berkait dengan kepentingan (vested interest).
Termasuk dalam kategori ini adalah pemberontakan APRA, RMS dan Andi Aziz.Vested Interest
merupakan kepentingan yang tertanam dengan kuat pada suatu kelompok.
Kelompok ini biasanya berusaha untuk mengontrol suatu sistem sosial atau
kegiatan untuk keuntungan sendiri. Mereka juga sukar untuk mau melepas
posisi atau kedudukannya sehingga sering menghalangi suatu
proses
perubahan. Baik APRA, RMS dan peristiwa Andi Aziz, semuanya berhubungan
dengan keberadaan pasukan KNIL atau Tentara Kerajaan (di) Hindia
Belanda, yang tidak mau menerima kedatangan tentara Indonesia di
wilayah-wilayah yang sebelumnya mereka kuasai. Dalam situasi seperti
ini, konflik pun terjadi.
3. Peristiwa konflik dan pergolakan yang berkait dengan sistem pemerintahan.
Termasuk
dalam kategori ini adalah persoalan negara federal dan BFO (Bijeenkomst
Federal Overleg), serta pemberontakan PRRI dan Permesta.
Masalah
yang berhubungan dengan negara federal mulai timbul ketika berdasarkan
perjanjian Linggajati, Indonesia disepakati akan berbentuk negara
serikat/federal dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS). RI menjadi
bagian RIS. Negara-negara federal lainnya misalnya adalah negara
Pasundan, negara Madura atau Negara Indonesia Timur. BFO sendiri adalah
badan musyawarah negara-negara federal di luar RI, yang dibentuk oleh
Belanda. Awalnya, BFO berada di bawah kendali Belanda. Namun makin lama
badan ini makin bertindak netral, tidak lagi melulu memihak Belanda.
Pro-kontra tentang negara-negara federal inilah yang kerap juga
menimbulkan pertentangan.
Sedangkan
pemberontakan PRRI dan Permesta merupakan pemberontakan yang terjadi
akibat adanya ketidakpuasan beberapa daerah di wilayah Indonesia
terhadap pemerintahan pusat.
Sekarmaringkbahastasatupersatukonflikataupergolakanyangterjadi
Indonesia pada tahun-tahun 1948-1965, yang berhubungan dengan ketiga hal tersebut.
1. Konflik dan Pergolakan yang Berkait dengan Ideologi. a. Pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia) Madiun
Selain
Partai Nasional Indonesia (PNI), PKI merupakan partai politik pertama
yang didirikan sesudah proklamasi. Meski demikian, PKI bukanlah partai
baru, karena telah ada sejak jaman pergerakan nasional sebelum dibekukan
oleh pemerintah Hindia Belanda akibat memberontak pada tahun 1926.
Sejak
merdeka sampai awal tahun 1948, PKI masih bersikap mendukung
pemerintah, yang kebetulan memang dikuasai oleh golongan kiri. Namun
ketika golongan kiri terlempar dari pemerintahan, PKI menjadi partai
oposisi dan bergabung dengan partai serta organisasi kiri lainnya dalam
Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang didirikan Amir Syarifuddin pada bulan
Februari 1948. Pada awal September 1948 pimpinan PKI dipegang Muso. Ia
membawa PKI ke dalam pemberontakan bersenjata yang dicetuskan di Madiun
pada tanggal
18September1948(TaufikAbdullahdanABLapian,2012).
Mengapa
PKI memberontak? Alasan utamanya tentu bersifat ideologis, dimana
mereka memiliki cita-cita ingin menjadikan Indonesia sebagai negara
komunis. Berbagai upaya dilakukan oleh PKI untuk meraih kekuasaan. Di
bawah pimpinan Musso, PKI berhasil menarik partai dan organisasi kiri
dalam FDR bergabung ke dalam PKI. Partai ini lalu mendorong dilakukannya
berbagai demonstrasi dan pemogokan kaum buruh dan petani. Sebagian
kekuatan-kekuatan bersenjata juga berhasil masuk dalam pengaruh mereka.
Muso juga kerap mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang mengecam
pemerintah dan membahayakan strategi diplomasi Indonesia melawan Belanda
yang ditengahi Amerika Serikat (AS). Pernyataan Muso lebih menunjukkan
keberpihakannya pada Uni Sovyet yang komunis. Padahal saat itu AS dan
Uni Sovyet tengah mengalami Perang Dingin.
Pemerintah
Indonesia telah melakukan upaya-upaya diplomasi dengan Muso, bahkan
sampai mengikutsertakan tokoh-tokoh kiri yang lain, yaitu Tan Malaka,
untuk meredam gerak ofensif PKI Muso. Namun kondisi politik sudah
terlampau panas, sehingga pada pertengahan September 1948, pertempuran
antara kekuatan-kekuatan bersenjata yang memihak PKI dengan TNI mulai
meletus. PKI dan kelompok pendukungnya kemudian memusatkan diri di
Madiun. Muso pun kemudian pada tanggal 18 September 1948 memproklamirkan
Republik Soviet Indonesia.
Presiden Soekarno segera bereaksi, dan berpidato di RRI Yogjakarta :
“…Saudara-saudara
! camkan benar apa artinja itu : Negara Republik Indonesia jang kita
tjintai, hendak direbut oleh PKI Muso. Kemarin pagi PKI Muso, mengadakan
coup, mengadakan perampasan kekuasaan di Madiun dan mendirikan di sana
suatu pemerintahan Sovyet, di bawah pimpinan Muso. Perampasan ini mereka
pandang sebagai permulaan untuk merebut seluruh Pemerintahan Republik
Indonesia. …Saudara-saudara,
camkanlah benar-benar apa artinja jang telah terdjadi itu. Negara
Republik Indonesia hendak direbut oleh PKI Muso !
Rakjat
jang kutjinta ! Atas nama perdjuangan untuk Indonesia Merdeka, aku
berseru kepadamu : “Pada saat jang begini genting, dimana engkau dan
kita sekalian mengalami percobaan jang sebesar-besarnja dalam menentukan
nasib kita sendiri, bagimu adalah pilihan antara dua : ikut Muso dengan
PKI-nja jang akan membawa bangkrutnja cita-cita Indonesia Merdeka, atau
ikut Soekarno-Hatta, jang Insya Allah dengan bantuan Tuhan akan
memimpin Negara Republik Indonesia jang merdeka, tidak didjadjah oleh
negeri apa pun djuga.
…Buruh
jang djudjur, tani jang djudjur, pemuda jang djudjur, rakyat jang
djudjur,djanganlah memberikan bantuan kepada kaum pengatjau itu. Djangan
tertarik siulan mereka ! …Dengarlah, betapa djahatnja rentjana mereka
itu ! (Daud Sinyal, 1996).
Di
awal pemberontakan, pembunuhan terhadap pejabat pemerintah dan para
pemimpin partai yang anti komunis terjadi. Kaum santri juga menjadi
korban. Tetapi pasukan pemerintah yang dipelopori Divisi Siliwangi
kemudian berhasil mendesak mundur pemberontak. Puncaknya adalah ketika
Muso tewas tertembak. Amir Syarifuddin juga tertangkap. Ia akhirnya
dijatuhi hukuman mati. Tokoh-tokoh muda PKI seperti Aidit dan Lukman
berhasil melarikan diri. Merekalah yang kelak di tahun 1965, berhasil
menjadikan PKI kembali menjadi partai besar di Indonesia sebelum
terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965. Ribuan orang tewas dan
ditangkap pemerintah akibat pemberontakan Madiun ini. PKI gagal
mengambil alih kekuasaan.
Dari kisah di atas, apa hal terpenting dari peristiwa pemberontakan PKI di Madiun ini bagi sejarah Indonesia kemudian ?
Pertama,
upaya membentuk tentara Indonesia yang lebih profesional menguat sejak
pemberontakan tersebut. Berbagai laskar dan kekuatan bersenjata “liar”
berhasil didemobilisasi (dibubarkan). Dari sisi perjuangan diplomasi,
simpati
ASsebagaipenengahdalamkonflikdanperundinganantaraIndonesiangn
Belanda
perlahan berubah menjadi dukungan terhadap Indonesia, meskipun hal ini
tidak juga bisa dilepaskan dari strategi global AS dalam menghadapi
ancaman komunisme.
TetapihalterpentinglainjugaperludicatatBahwasan.konflikyangterjadi berdampak pula pada banyaknya korban yang timbul. Ketidakbersatuan
bangsa
Indonesia yang tampak dalam peristiwa ini juga dimanfaatkan oleh
Belanda yang mengira Indonesia lemah, untuk kemudian melancarkan agresi
militernya yang kedua pada Desember 1948.
b. Pemberontakan DI/TII
Cikal
bakal pemberontakan DI/TII yang meluas di beberapa wilayah Indonesia
bermula dari sebuah gerakan di Jawa Barat yang dipimpin oleh S.M.
Kartosuwiryo. Ia dulu adalah salah seorang tokoh Partai Sarekat Islam
Indonesia (PSII). Adalah perjanjian Renville yang membuka peluang bagi
Kartosuwiryo untuk lebih mendekatkan cita-cita lamanya untuk mendirikan
negara Islam.
Salah
satu keputusan Renville adalah harus pindahnya pasukan RI dari
daerah-daerah yang diklaim dan diduduki Belanda ke daerah yang dikuasai
RI. Di Jawa Barat, Divisi Siliwangi sebagai pasukan resmi RI pun
dipindahkan ke Jawa Tengah karena Jawa Barat dijadikan negara bagian
Pasundan oleh Belanda. Akan tetapi laskar bersenjata Hizbullah dan
Sabilillah yang telah berada di bawah pengaruh Kartosuwiryo tidak
bersedia pindah dan malah membentuk Tentara Islam Indonesia (TII). Vakum
(kosong)-nya kekuasaan RI di Jawa Barat segera dimanfaatkan
Kartosuwiryo. Meski awalnya ia memimpin perjuangan melawan Belanda dalam
rangka menunjang perjuangan RI, namun akhirnya perjuangan tersebut
beralih menjadi perjuangan untuk merealisasikan cita-citanya. Ia lalu
menyatakan pembentukan Darul Islam (negara Islam/DI) dengan dukungan
TII, di Jawa Barat pada Agustus 1948.
Persoalan
timbul ketika pasukan Siliwangi kembali balik ke Jawa Barat.
Kartosuwiryo tidak mau mengakui tentara RI tersebut kecuali mereka mau
bergabung dengan DI/TII. Ini sama saja Kartosuwiryo dengan DI/TII nya
tidak mau mengakui pemerintah RI di Jawa Barat. Maka pemerintahpun
bersikap tegas. Meski upaya menanggulangi DI/TII Jawa Barat pada awalnya
terlihat belum dilakukan secara terarah, namun sejak tahun 1959,
pemerintah mulai melakukan operasi militer.
Operasi
terpadu “Pagar Betis” digelar, dimana tentara pemerintah menyertakan
juga masyarakat untuk mengepung tempat-tempat pasukan DI/TII berada.
Tujuan taktik ini adalah untuk mempersempit ruang gerak dan memotong
arus perbekalan pasukan lawan. Selain itu diadakan pula operasi tempur
dengan sasaran langsung basis-basis pasukan DI/TII. Melalui operasi ini
pula Kartosuwiryo berhasil ditangkap pada tahun 1962. Ia lalu dijatuhi
hukuman mati, yang menandai pula berakhirnya pemberontakan DI/TII
Kartosuwiryo.
Di
Jawa Tengah, awal kasusnya juga mirip, dimana akibat persetujuan
Renville daerah Pekalongan-Brebes-Tegal ditinggalkan TNI (Tentara
Nasional Indonesia) dan aparat pemerintahan. Terjadi kevakuman di
wilayah ini dan Amir Fatah beserta pasukan Hizbullah yang tidak mau
di-TNI-kan segera mengambil alih.
Saat
pasukan TNI kemudian balik kembali ke wilayah tersebut setelah Belanda
melakukan agresi militernya yang kedua, sebenarnya telah terjadi
kesepakatan antara Amir Fatah dan pasukannya dengan pasukan TNI. Amir
Fatah bahkan diangkat sebagai koordinator pasukan di daerah operasi
Tegal dan Brebes. Namun ketegangan karena berbagai persoalan antara
pasukan Amir Fatah dengan TNI sering timbul kembali. Amir Fatah pun
semakin berubah pikiran setelah utusan Kartosuwiryo datang menemuinya
lalu mengangkatnya sebagai Panglima TII Jawa Tengah. Ia bahkan kemudian
ikut memproklamirkan berdirinya Negara Islam di Jawa Tengah. Sejak itu
terjadi kekacauan dan konflikterbukaantpasukanraAmirFatahdengpasukanTNI.
Tetapi
berbeda dengan DI/TII di Jawa Barat, perlawanan Amir Fatah tidak
terlalu lama. Kurangnya dukungan dari penduduk membuat perlawanannya
cepat berakhir. Desember 1951, ia menyerah.
Selain
Amir Fatah, di Jawa Tengah juga timbul pemberontakan lain yang dipimpin
oleh Kiai Haji Machfudz atau yang dikenal sebagai Kyai Sumolangu. Ia
didukung oleh laskar bersenjata Angkatan Umat Islam (AUI) yang sejak
didirikan memang berkeinginan menciptakan suatu negara Indonesia yang
berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Meski demikian, dalam perjuangan
untuk mempertahankan kemerdekaan, awalnya AUI bahu membahu dengan
Tentara Republik dalam menghadapi Belanda. Wilayah operasional AUI
berada daerah Kebumen dan daerah sekitar pantai selatan Jawa Tengah.
Namun
kerjasama antara AUI dengan Tentara RI mulai pecah ketika pemerintah
hendak melakukan demobilisasi AUI. Ajakan pemerintah untuk berunding
ditolak Kyai Sumolangu. Pada akhir Juli 1950 Kyai Sumolangu melakukan
pemberontakan. Sesudah sebulan bertempur, tentara RI berhasil menumpas
pemberontakan ini. Ratusan pemberontak dinyatakan tewas dan sebagian
besar
berhasil ditawan. Sebagian lainnya melarikan diri dan bergabung dengan
pasukan TII di Brebes dan Tegal. Akibat pemberontakan ini kehancuran
yang diderita di Kebumen besar sekali. Ribuan rakyat mengungsi dan
ratusan orang ikut terbunuh. Selain itu desa-desa juga mengalami
kerusakan berat.
Pemberontakan
Darul Islam di Jawa Tengah lainnya juga dilakukan oleh Batalyon 426
dari Divisi Diponegoro Jawa Tengah. Ini adalah tentara Indonesia yang
anggota-anggotanya berasal dari laskar Hizbullah. Simpati dan kerjasama
mereka dengan Darul Islam pun jadinya tampak karena DI/TII juga berbasis
pasukan laskar Hizbullah. Cakupan wilayah gerakan Batalyon 426 dalam
pertempuran dengan pasukan RI adalah Kudus, Klaten hingga
Surakarta.Walaupun dianggap kuat dan membahayakan, namun hanya dalam
beberapa bulan saja, pemberontakan Batalyon 426 ini juga berhasil
ditumpas.
Selain
di Jawa Barat dan Jawa Tengah, pemberontakan DI/TII terjadi pula di
Sulawesi Selatan di bawah pimpinan Letnan Kolonel Kahar Muzakkar. Pada
tahap awal, pemberontakan ini lebih disebabkan akibat ketidakpuasan para
bekas pejuang gerilya kemerdekaan terhadap kebijakan pemerintah dalam
membentuk Tentara Republik dan demobilisasi yang dilakukan di Sulawesi
Selatan. Namun beberapa tahun kemudian pemberontakan malah beralih
dengan bergabungnya mereka ke dalam DI/TII Kartosuwiryo.
Tokoh
Kahar Muzakkar sendiri pada masa perang kemerdekaan pernah berjuang di
Jawa bahkan menjadi komandan Komando Grup Sulawesi Selatan yang
bermarkas di Yogyakarta. Setelah pengakuan kedaulatan tahun 1949 ia lalu
ditugaskan ke daerah asalnya untuk membantu menyelesaikan persoalan
tentang Komando Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) di sana. KGSS dibentuk
sewaktu perang kemerdekaan dan berkekuatan 16 batalyon atau satu divisi.
Pemerintah ingin agar kesatuan ini dibubarkan lebih dahulu untuk
kemudian dilakukan re-organisasi tentara kembali. Semua itu dalam rangka
penataan ketentaraan. Namun anggota KGSS menolaknya.
Begitu
tiba, Kahar Muzakkar diangkat oleh Panglima Tentara Indonesia Timur
menjadi koordinator KGSS, agar mudah menyelesaikan persoalan. Namun
Kahar Muzakkar malah menuntut kepada Panglimanya agar KGSS bukan
dibubarkan, melainkan minta agar seluruh anggota KGSS dijadikan tentara
dengan nama Brigade Hasanuddin. Tuntutan ini langsung ditolak karena
pemerintah berkebijakan hanya akan menerima anggota KGSS yang memenuhi
syarat sebagai tentara dan lulus seleksi. Kahar Muzakkar tidak menerima
kebijakan ini dan memilih berontak diikuti oleh pasukan pengikutnya.
Selama
masa pemberontakan, Kahar Muzakkar pada tanggal 7 Agustus 1953
menyatakan diri sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia Kartosuwiryo.
Pemberontakan
yang dilakukan Kahar memang memerlukan waktu lama untuk menumpasnya.
Pemberontakan baru berakhir pada tahun 1965. Di tahun itu, Kahar
Muzakkar tewas tertembak dalam suatu penyergapan.
Pemberontakan
yang berkait dengan DI/TII juga terjadi di Kalimantan Selatan. Namun
dibandingkan dengan gerakan DI/TII yang lain, ini adalah pemberontakan
yang relatif kecil, dimana pemberontak tidak menguasai daerah yang luas
dan pergerakan pasukan yang besar. Meski begitu, pemberontakan
berlangsung lama dan berlarut-larut hingga tahun 1963 saat Ibnu Hajar,
pemimpinnya, tertangkap.
Timbulnya
pemberontakan DI/TII Kalimantan Selatan ini sesungguhnya bisa
ditelusuri hingga tahun 1948 saat Angkatan Laut Republik Indonesia
(ALRI) Divisi IV, sebagai pasukan utama Indonesia dalam menghadapi
Belanda di Kalimantan Selatan, telah tumbuh menjadi tentara yang kuat
dan berpengaruh di wilayah tersebut. Namun ketika penataan ketentaraan
mulai dilakukan di Kalimantan Selatan oleh pemerintah pusat di Jawa,
tidak sedikit anggota ALRI Divisi IV yang merasa kecewa karena diantara
mereka ada yang harus didemobilisasi atau mendapatkan posisi yang tidak
sesuai dengan keinginan mereka. Suasana mulai resah dan keamanan di
Kalimantan Selatan mulai terganggu. Penangkapan-penangkapan terhadap
mantan anggota ALRI Divisi IV terjadi. Salah satu alasannya adalah
karena diantara mereka ada yang mencoba menghasut mantan anggota ALRI
yang lain untuk memberontak.
Diantara para pembelot mantan anggota ALRI Divisi IV adalah Letnan Dua
IbnuHajar.Dikenalsebagaifigurberwatakkeras,dengancepatiaberhasil mengumpulkan pengikut, terutama di kalangan anggota ALRI Divisi IV yang
kecewa
terhadap pemerintah. Ibnu Hajar bahkan menamai pasukan barunya sebagai
Kesatuan Rakyat Indonesia yang Tertindas (KRIyT). Kerusuhan segera saja
terjadi. Berbagai penyelesaian damai coba dilakukan pemerintah, namun
upaya ini terus mengalami kegagalan. Pemberontakan pun pecah.
Akhir
tahun 1954, Ibnu Hajar memilih untuk bergabung dengan pemerintahan
DI/TII Kartosuwiryo, yang menawarkan kepadanya jabatan dalam pemerintahanDI/TIIsekaligusPanglimaTIIKlimantanKonflikdengan. tentara Republik pun tetap terus berlangsung bertahun-tahun. Baru pada tahun
1963, Ibnu Hajar menyerah. Ia berharap mendapat pengampunan. Namun pengadilan militer menjatuhinya hukuman mati.
Daerah
pemberontakan DI/TII berikutnya adalah Aceh. Ada sebab dan akhir yang
berbeda antara pemberontakan di daerah ini dengan daerah-daerah DI/ TII
lainnya.
Di
Aceh, pemicu langsung pecahnya pemberontakan adalah ketika pada tahun
1950 pemerintah menetapkan wilayah Aceh sebagai bagian dari propinsi
Sumatera Utara. Para ulama Aceh yang tergabung dalam Persatuan Ulama
Seluruh Aceh (PUSA) menolak hal ini. Bagi mereka, pemerintah terlihat
tidak menghargai masyarakat Aceh yang telah berjuang membela republik.
Mereka menuntut agar Aceh memiliki otonomi sendiri dan mengancam akan
bertindak bila tuntutan mereka tak dipenuhi. Tokoh terdepan PUSA dalam
hal ini adalah Daud Beureuh.
Pemerintah
pusat kemudian berupaya menempuh jalan pertemuan. Wakil Presiden M.
Hatta (1950), Perdana Menteri M. Natsir (1951), bahkan Soekarno (1953?)
menyempatkan diri ke Aceh untuk menyelesaikan persoalan ini, namun
mengalami kegagalan. Akhirnya pada tahun 1953, setelah Daud Beureuh
melakukan kontak dengan Kartosuwiryo, ia menyatakan Aceh sebagai bagian
dari Negara Islam Indonesia yang dipimpin Kartosuwiryo.
KonflikantarpengikDauBeureuhdtdengantentaraRIpunberkecamu dan
tak menentu selama beberapa tahun, sebelum akhirnya pemerintah
mengakomodasi dan menjadikan Aceh sebagai daerah istimewa pada tahun
1959. Tiga tahun setelah itu Daud Beureuh kembali dari pertempuran yang telah selesai. Ia mendapat pengampunan.
c. Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI)
Inilah
peristiwa yang hingga kini masih menyimpan kontroversi. Utamanya adalah
yang berhubungan dengan pertanyaan “Siapa dalang Gerakan 30 September
1965 sebenarnya?”
Setidaknya terdapat enam teori mengenai peristiwa kudeta G30S tahun 1965 ini :
1. Gerakan 30 September merupakan persoalan internal Angkatan Darat (AD).
Dikemukakan
antara lain oleh Ben Anderson, W.F.Wertheim, dan Coen Hotsapel, teori
ini menyatakan bahwa G30S hanyalah peristiwa yang timbul akibat adanya
persoalan di kalangan AD sendiri. Hal ini misalnya didasarkan pada
pernyataan pemimpin Gerakan, yaitu Letnan Kolonel Untung yang menyatakan
bahwa para pemimpin AD hidup bermewah-mewahan dan memperkaya diri
sehingga mencemarkan nama baik AD. Pendapat seperti ini sebenarnya
berlawanan dengan kenyataan yang ada. Jenderal Nasution misalnya,
Panglima Angkatan Bersenjata ini justru hidupnya sederhana.
2. Dalang Gerakan 30 September adalah Dinas Intelijen Amerika Serikat (CIA).
Teori
ini berasal antara lain dari tulisan Peter Dale Scott atau Geoffrey
Robinson. Menurut teori ini AS sangat khawatir Indonesia jatuh ke tangan
komunis. PKI pada masa itu memang tengah kuat-kuatnya menanamkan
pengaruh di Indonesia. Karena itu CIA kemudian bekerjasama dengan suatu
kelompok dalam tubuh AD untuk memprovokasi PKI agar melakukan gerakan
kudeta. Setelah itu, ganti PKI yang dihancurkan. Tujuan akhir skenario
CIA ini adalah menjatuhkan kekuasaan Soekarno.
3. Gerakan 30 September merupakan pertemuan antara kepentingan Inggris-AS.
Menurut
teori ini G30S adalah titik temu antara keinginan Inggris yang ingin
sikap konfrontatif Soekarno terhadap Malaysia bisa diakhiri melalui
penggulingan kekuasaan Soekarno, dengan keinginan AS agar Indonesia
terbebas dari komunisme. Dimasa itu, Soekarno memang tengah gencar
melancarkan provokasi menyerang Malaysia yang dikatakannya sebagai
negara boneka Inggris. Teori dikemukakan antara lain oleh Greg Poulgrain
4. Soekarno adalah dalang Gerakan 30 September.
Teori
yang dikemukakan antara lain oleh Anthony Dake dan John Hughes ini
beranjak dari asumsi bahwa Soekarno berkeinginan melenyapkan kekuatan
oposisi terhadap dirinya, yang berasal dari sebagian perwira tinggi AD.
Karena PKI dekat dengan Soekarno, partai inipun terseret. Dasar teori
ini antara lain berasal dari kesaksian Shri Biju Patnaik, seorang pilot
asal India yang menjadi sahabat banyak pejabat Indonesia sejak masa
revolusi. Ia mengatakan bahwa pada 30 September 1965 tengah malam
Soekarno memintanya untuk meninggalkan Jakarta sebelum subuh. Menurut
Patnaik, Soekarno berkata “sesudah itu saya akan menutup lapangan
terbang”.
Di sini Soekarno seakan tahu bahwa akan ada “peristiwa besar” esok harinya.
Namun
teori ini dilemahkan antara lain dengan tindakan Soekarno yang ternyata
kemudian menolak mendukung G30S. Bahkan pada 6 Oktober 1965, dalam
sidang Kabinet Dwikora di Bogor, ia mengutuk gerakan ini.
5. Tidak ada pemeran tunggal dan skenario besar dalam peristiwa Gerakan 30 September (teori chaos).
Dikemukakan
antara lain oleh John D. Legge, teori ini menyatakan bahwa tidak ada
dalang tunggal dan tidak ada skenario besar dalam G30S. Kejadian ini
hanya merupakan hasil dari perpaduan antara, seperti yang disebut
Soekarno : “unsur-unsur Nekolim (negara Barat), pimpinan PKI yang
keblinger serta oknum-oknum ABRI yang tidak benar”. Semuanya pecah dalam
improvisasi di lapangan.
6. Dalang Gerakan 30 September adalah PKI
Menurut
teori ini tokoh-tokoh PKI adalah penanggungjawab peristiwa kudeta,
dengan cara memperalat unsur-unsur tentara. Dasarnya adalah serangkaian
kejadian dan aksi yang telah dilancarkan PKI antara tahun 1959-1965.
Dasar lainnya adalah bahwa setelah G30S, beberapa perlawanan bersenjata
yang dilakukan oleh kelompok yang menamakan diri CC PKI sempat terjadi
di Blitar Selatan, Grobogan, dan Klaten.
Teori
yang dikemukakan antara lain oleh Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh
ini merupakan teori yang paling umum didengar mengenai kudeta tanggal 30
September 1965.
Namun
terlepas dari teori mana yang benar mengenai peristiwa G30S, yang pasti
sejak Demokrasi Terpimpin secara resmi dimulai pada tahun 1959,
IndonmesiamangdiwarnaidenganfigurSoekaryanmenampilkaog
dirinya
sebagai penguasa tunggal di Indonesia. Ia juga menjadi kekuatan
penengah diantara dua kelompok politik besar yang saling bersaing dan
terkurung dalam pertentangan yang tidak terdamaikan saat itu : AD dengan
PKI.
Juli
1960 misalnya, PKI melancarkan kecaman-kecaman terhadap kabinet dan
tentara. Ketika tentara bereaksi, Soekarno segera turun tangan hingga
persoalan ini sementara selesai. Hal ini kemudian malah membuat hubungan
Soekarno dengan PKI kian dekat (Crouch, 1999 dan Ricklefs, 2010 ).
Bulan
Agustus 1960 Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang merupakan
partai pesaing PKI, dibubarkan pemerintah. PKI pun semakin giat
melakukan mobilisasi massa untuk meningkatkan pengaruh dan memperbanyak
anggota. Partai-partai lain seperti NU dan PNI hingga saat itu praktis
telah dilumpuhkan (Feith, 1998).
Tahun
1963, situasi persaingan semakin sengit, baik di kota maupun di desa.
PKI berusaha mendesak untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih besar. Oleh
karena itu, strategi ofensif yang dipilih untuk memenuhi harapannya.
Di
tingkat pusat, PKI mulai berusaha dengan sungguh-sungguh untuk duduk
dalam kabinet. Mungkin PKI merasa kedudukannya sudah cukup kuat. Pada
tahun-tahun sebelumnya partai ini umumnya hanya melancarkan kritik
terhadap pemerintah khususnya para menteri yang memiliki pandangan
politik berbeda dengan mereka.
Di
bidang kebudayaan, saat sekelompok cendekiawan anti PKI
memproklamasikan Manifesto Kebudayaan (“Manikebu”) yang tidak ingin
kebudayaan nasional didominasi oleh suatu ideologi politik tertentu
(misalnya komunis), Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang pro PKI
segera mengecam keras. Soekarno ternyata menyepakati kecaman itu. Tidak
sampai satu tahun usianya, Manikebu dilarang pemerintah.
Sedangkan di daerah, persoalan-persoalan yang muncul tampaknya malahlebihpeliklagiarenabersinggungandengankoflikyanglebih radikal.
Hal ini sebagian merupakan akibat dari masalah-masalah yang ditimbulkan
oleh program di bidang agraria (landreform/UU Pokok Agraria 1960),
dimana PKI segera melancarkan apa yang disebut sebagai kampanye aksi
sepihak. Aksi ini merupakan upaya mengambilalih tanah
milik
pihak-pihak mapan di desa dengan paksa dan menolak janji-janji bagi
hasil yang lama. “Tujuh Setan Desa” karenanya dirumuskan oleh PKI, yang
terdiri dari tuan tanah jahat, lintah darat, tukang ijon, tengkulak
jahat, kapitalis birokrat desa, pejabat desa jahat dan bandit desa.
“Setan Desa”menurut versi PKI ini, menurut Tornquist, ujung-ujungnya
merujuk pada para pemilik tanah (Tornquist, 2011).
Adegan-adegan
protespun berlangsung bahkan radikalisme dipraktikkan hingga upaya
menurunkan lurah serta aksi protes terhadap para sesepuh desa. Dalam
aksi pengambilalihan tanah --terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur,
juga Bali, Jawa Barat dan Sumatera Utara-- massa PKI-pun terlibat dalam
pertentangan yang sengit dengan, tentu saja, para tuan tanah, juga kaum
birokrat dan para pengelola yang berasal dari kalangan tentara. Para
tuan tanah kebetulan pula kebanyakan berasal dari kalangan muslim yang
taat dan pendukung PNI. Kondisi ini pada akhirnya menyebabkan PKI,
khususnya di Jawa Timur, segera saja berhadapan muka dengan para santri
NU.
Di
kota-kota tindakan liar juga bukan tidak terjadi. Ini misalnya
tergambar dalam cerita mengenai istri seorang dokter terkenal di Solo,
yang akan pergi ke suatu resepsi. Ia, yang mengenakan kebaya lengkap
dengan sanggul besar dan sepatu hak tinggi, digiring oleh ratusan tukang
becak
di
tengah terik matahari ke kantor polisi untuk menyelesaikan pertikaian
harga becak. Adegan serupa pernah juga terjadi di berbagai kota. Ada
pula para kepala desa yang sudah tua disidangkan di depan pengadilan
rakyat (Ong Hok Ham,1999).
Kak izin copy paste ya.. Untuk tugas sekolah. Terimakasih;)
BalasHapusTrimakasih,,,
BalasHapus